Marten Manim, Perwakilan Marga Manim di Distrik Mubrani Pembangunan Proyek Nasional Jalan Trans Papua ruas Sorong-Manokwari dinilai gagal memenuhi hak masyarakat adat khususnya masyarakat adat dari Marga Manim dan Manimbu, Distik Mubrani, Kabupaten Tambrauw. Pendapat ini disampaikan oleh perwakilan masyarakat adat Marga Manim, Marten Manim pada Rabu, 28 Januari di Kampung Arfu Distrik Mubrani, Kabupaten Tambrauw. Yosep juga menambahkan bahwa pembangunan ruas jalan baru trans papua di gunung pasir sama sekali tidak pernah melibatkan masyarakat adat marga manim dan maimbu selaku pemilik tanah adat di wilayah tersebut. Bahkan pembebasan hak ulayat sama sekali tidak diberikan kepada kami baik itu ruas jalan lama yang sudah dibangun maupun ruas jalan baru yang baru baru ini dibuka.
Kami sudah bertemu dengan perusahaan pembangunan ruas jalan PT Putra Bungsu, tapi mereka tidak memberikan kepastian tentang hak kami sebagai pemilik ulayat. Mereka hanya sampaikan bahwa jalan ini dibangun untuk masyarakat dan pihak perusahaan sama sekali tidak menyinggung tentang hak kami. Padahal mereka sudah mulai bekerja di tanah ini. Perwakilan Perempuan Adat dari Mubrani, Yubelina Manimbu juga menyampaikan penolakan terhadap ruas jalan trans Papua yang dibangun di wilayah adatnya. Kami sudah berupaya melaporkan hal ini kepada Kepolisian, namun belum ada penyelesaian hingga saat ini. Bahkan ketika bos perusahaan dipanggil oleh pihak kepolisian, tidak ada tanggapan dari bos perusahaan tentang msalah ini. “macam masuk telinga kiri leuar telinga kanan” tuturMarten Moses Manim yang juga sebagai perwakilan anggota masyarakat adat marga Manim dan Manimbu menilai bahwa pembukaan ruas baru di bawah gunung pasir dapat membahayakan saya dan keluarga di kampung Arfu. “Kitong tahu, jalan baru ini dekat dengan Kali Kasi, dan itu gampang longsor. Kalau longsor terus, kali kais bisa ta tutup, kampung Arfu bisa banjir karena kampung ini dia datar, bahaya bagi kami, masyarakat adat manim dan manimbu yang tinggal di sini”. Sulfianto Alias selaku perwakilan organisasi masyarakat sipil Perkumpulan Panah Papuu menilai bahwa anggaran proyek strategis nasional biasanya telah mencakup anggaran untuk pembayaran hak dari masyarakat adat yang wilayah adatnya terkena dampak dari pembangunan jalan Trans Papua. Jika ditemukan bahwa hak masyarakat adat belum dipenuhi, bisa dikatakan ada indikasi korupsi dalam proyek pembangunan ruas jalan ini. Semestinya sebelum proyek dijalankan, terlebih dahulu pemenuhan hak harus dipenuhi oleh pemerintah. Alias Juga menambahkan bahwa Proyek Strategis Nasional pembangunan Jalan Trans Papua masih belum mampu sejahterakan Orang Asli Papua. “Kita lihat saja, masyarakat adat Mubrani kalau mau ke ke Fef (Ibu Kota Kabupaten Tambrauw) untuk mendapatkan pelayanan publik misalnya urus KTP, harus mengeluarkan biaya transportasi sebesar 8 Juta pulang pergi. Itu baru transportasi. Dan setiba di Fef, belum tentu juga dapat memperoleh akses pelayanan publik yang baik. Masyarakat Adat mau dapat uang sebesar itu dari mana?”. Kami menilai pembangunan proyek jalan Trans Papua bisa jadi hanya memberikan keuntungan bagi segelintir orang, seperti pemenang proyek, pejabat pembuat komitmen pada pemerintah bahkan memberikan hanay keuntungan kepada investor yang menggunakan jalan trans papua untuk operasionl perusahaannya.
1 Comment
Aktifitas Perkebunan dengan cara membakar lahan yang terletak di wilayah izin PT Bintuni Sawit Makmur. Pada lokasi yang sama juga terdapat areal Perhutanan Sosial Pada Tanggal 6 Januari 2021, Presiden Joko Widodo dikabarkan telah menyerahkan hak pengelolaan hutan dan redistribusi lahan kepada masyarakat melalui skema Perhutanan Sosial dan Reforma Agraria. Dalam acara penyerahan tersebut, Provinsi Papua mendapatkan hak pengelolaan perhutanan sosial seluas 81.000 Hektar untuk 3.040 kk dan alokasi redistribusi lahan seluas 271.100 hektar. Provinsi Papua Barat memperoleh hak pengelolaan perhutanan sosial seluas 65.000 Hektar untuk 7.240 kepala keluarga dan alokasi redistribusi lahan seluas 15.600 Hektar untuk 5.624 kepala keluarga.
Menanggapi hal tersebut, Sulfianto Alias mewakili Perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil Perkumpulan Panah Papua menilai hak pengelolaan lahan seperti perhutanan sosial dan redistribusi lahan di Tanah Papua tidak mampu mengubah kesenjangan penguasaan lahan di Tanah Papua. Berdasarkan data tersebut dapat kita katakan bahwa wilayah kelola yang diberikan oleh Negara belum menyentuh wilayah pemegang izin berbasis lahan skala luas. Wilayah yang diberikan hanya terbatas pada wilayah diluar konsesi. Padahal wilayah tersebut juga milik masyarakat adat itu sendiri. Selain itu, pada penyerahan juga masih nihil penyerahan hak pengelolaan hutan kepada masyarakat hukum adat. Padahal masyarakat hukum adat memiliki banyak permasalahan terutama konflik antara komunitas dengan pemegang izin. Bahkan Hutan adat dapat menjadi alat resolusi konflik jika hak pengelolaan tersebut diberikan. Redistribusi lahan yang masuk dalam skema TORA juga tidak memperlihatkan perubahan ketimpangan penguasaan lahan di Tanah Papua. Padahal terdapat alokasi 20 persen redistribusi lahan dari pemegang izin namun tidak kunjung diserahkan kepada masyarakat. Berdasarkan hasil analisis perkumpulan Panah Papua, terdapat 9 orang/kelompok yang memperoleh izin untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit dari pemerintah. 9 orang/kelompok ini menguasai 0,5 Juta hektar Lahan di Papua Barat. Alias juga Menambahkan bahwa jika permasalah ini tidak diselesaikan maka konflik akan terus terjadi dan ketimpangan pengusaan lahan akan semakin senjang. Kami berharap Pemerintah khususnya Pokja perhutanan Sosial Provinsi Papua dan Papua Barat dapat fokus menyelesaikan permasalahan dengan memberikan hak pengelolaan hutan kepada masyaraakt adat di awal Tahun ini. Komunitas sudah siap dengan usulannya tinggal pemerintah saja selaku pengembil kebijakan, mau memberian hak tersebut atau tidak. |
Archives
November 2024
|