Masyarakat Adat di Kampung Fruata, Kabupaten Teluk Bintuni dan masyarakat adat di Kampung Rauna menyatakan keberatan atas penebangan yang dilakukan oleh PT Prabu Alaska melalui kontraktornya yaitu PT WPJ dan PT ATJ. Pernyataan keberatan tersebut disampaika oleh perwakilan masyarakat adat kampung Fruata dan Rauna, Semuel Farisa dan Reymundus Fenetruma.
Semuel menyatakan bahwa kami tidak tahu kegiatan penebangan yang dilakukan oleh pihak PT Prabu Alaska melalui kontraktornya. Kami kaget kalau sudah ada penebangan di dalam wilayah adat kami Marga Tanggarofa, Wanusanda dan Fenetruma di kampung Fruata dan Rauna tanpa sepengetahuan kami. Harapan kami perusahan PT Prabu Alaska harus sosialisasi kegiatan peneebangannya di kampung Fruata dan Rauna, karena kami masyarakat adat belum setuju terhadap kegiatan tersebut (Penebangan di RKT 2021). Hal serupa disampaikan oleh Reimundus, bahwa penebangan harus dihentikan sekarang karena kami masyarakat adat tiga marga belum mengetahui dan belum menyetujui rencana penebangan Tahun 2021 ini. Harapan kami kepada pemerintah daerah dalam hal ini Pemerintah Daerah Provinsi terutama Dinas Kehutanan yang memiliki kewenangan dalam urusan kehutanan dapat memfasilitasi penyelesaian masalah ini. Jika pemerintah tidak mampu memfasilitasi penyelesaian ini kami akan tempuh dengan menghentikan dan palang perusahaan PT Prabu Alaska yang beroperasi. PT Prabu Alaska adalah perusahan pemegang IUPHHK HA yang masuk dalam konsorsium Alamindo milik Kim Johanes Mulia. Sebelumnya Alamindo telah bertemu Gubernur Papua Barat untuk berinvestasi sebesar 70 Triliun di Provinsi Papua Barat. Narahubung: Reimundus 082198258948
0 Comments
Tujuh komunitas masyarakat adat dari Kabupaten Teluk Bintuni mempertanyakan kinerja Ombudsman RI Perwakilan Papua Barat. Adapun tujuh komunitas tersebut adalah Masyarakat adat Marga Masakoda, Isurakahmei, Aisnak, Pattiran, Hindom, Yec serta Isbeined yang berada di Kabupaten Teluk Bintuni. Pada Bulan September 2020, ketujuh marga tersebut telah mengadukan dugaan maladministrasi pelayanan publik yang diduga dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni.
Awalnya ketujuh MHA tersebut mengusulkan pembentukan Panitia MHA di Kabupaten Teluk Bintuni sebagaimana telah diamanahkan dalam Perda Kabupaten Teluk Bintuni Nomor 1 Tahun 2019 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Namun usulan publik untuk pembentukan panitia MHA ini tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah setempat. Piter Masakoda selaku perwakilan Marga Masakoda, Yec isbeiden dan Aisnak menyatakan bahwa kami sampai saat ini masih menunggu hasil dari Ombudsman Papua Barat yang pernah kami ajukan gugatan pada bulan September. Belum ada respon dari Ombudsman terhadap usulan kami. Sampai hari ini belum ada jawaban dan kami mendesak dan sangat mengaharapkan segera Ombudsman Papua Barat memberikan rekomendasi dan pemerintah daerah segera mengeluarkan SK Panitia MHA karena saat ini banyak perizinan di wilayah kami yang sering mengabaikan hak masyarakat adat. Piter juga menambahkan hitung hampir setengah tahun maka kami melihat bahwa pengaduan kami tidak bisa ditindaklanjuti, kami merasa kami akan dirugikan sehingga kami mau untuk Ombudsman Papua Barat segera melakukan ini, kami MHA di Kabupaten Teluk Bintuni mengharapkan supaya pengaduan kami dapat ditindaklanjuti. Senada dengan Piter, Samuel Orocomna selaku perwakilan MHA Isurkahmei juga merasa kecewa terhadap Ombudsman RI Perwakilan Papua Barat. Sam menyatakan bahwa alasan kekecewaan ini karena Ombudsman hingga saat ini tidak menanggapi pengaduan yang telah dimasuukan kepada Ombudsman RI enam bulan yang lalu. Harapan kami agar Ombusman dapat menindaklanjuti pengaduan tersebut segera. Jika tidak, kami akan menempuh jalur hukum melalui PTUN terhadap Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni yang tidak merespon usulan tujuh komunitas MHA untuk membentuk Panitia MHA. Kontak Person : Piter Masakoda (082329241173) |
Archives
April 2023
|