Pada hari Kamis, 27 Februari 2020 akan dilaksanakan Pertemuan Tingkat Tinggi Investasi Hijau Untuk Papua dan Papua Barat yang dilaksanakan di Sorong, Papua Barat. Pada pertemuan tersebut sebagian besar peserta berasal dari perusahaan raksasa, pemerintah dan minim partisipasi masyarakat adat Papua. Juga Turut Hadir Menteri Koordinator Kemaritiman dan investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Menyikapi pertemuan tingkat tinggi tersebut, Ketua Perkumpulan Panah Papua menyatakan bahwa pendekatan investasi hijau dalam cetak biru yang akan dibuat tidak harus mengundang perusahaan yang menggunakan lahan skala luas. Menurutnya investasi apapun di tanah Papua harus menguntungkan suku suku asli orang Papua. Pemerintah berkewajiban memastikan bahwa investasi tersebut tidak memunculkan konflik yang tidak diharapkan oleh orang asli Papua. Semestinya pendekatan investasi hijau dimulai dari komunitas masyarakat adat Papua pemilik tanah dan sumber daya alam. Biarkan mereka yang berinvestasi dan peran pemerintah memberikan kemudahan investasi bagi masyarakatnya.
Pertemuan yang minim partisipasi public ini diprakarsai oleh Inisiatif Dagang Hijau (IDH) yang berpusat di Belanda bersama beberapa beberapa organisasi Internasional, sektor swasta dan didukung oleh Kementerian Koordinator kemaritiman dan investasi serta beberapa kementerian Lainnya. Ketua Perkumpulan Panah Papua menyatakan bahwa untuk menjamin hak masyarakat adat atas tanah dan hutan, pemerintah harus mendorong pengakuan hutan hutan adat berdasarkan marga atau clan dari seluruh suku asli di Provinsi Papua Barat. Selanjutnya wilayah wilayah masyarakat adat yang telah diakui dapat diakomodir dalam perencanaan ruang. Tentunya dalam kaitan investasi yang menguntungkan bagi orang asli Papua, maka komunitas komunitas lokal perlu diberdayakan untuk terlibat aktif dalam investasi yang adil. Menurut Esau Yaung, Direktur Papuana Conservation, salah satu kendala utama pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua Barat adalah masalah kepastian status lahan masyarakat adat pemilik hak ulayat. Di mana Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Papua Barat belum mengintegrasikan wilayah wilayah masyarakat adat dalam perencanaan ruang. Selain itu, akibat perubahan pola ruang untuk kebutuhan investasi skala besar telah terjadi penurunan luas wilayah dengan fungsi lindung dimana sebelum revisi pola ruang kawasan fungsi lindung ± 5.3 juta hektar, tetapi setelah di revisi pada Tahun 2015 fungsi lindung hanya ± 3.3 juta hektar atau terjadi penurunan seluas ± 1.9 juta hektar. Hal ini tentu akan memicu degradasi dan deforestasi lahan dan hutan alam tersisa di dunia yang terdapat di tanah Papua. Lanjut Esau, pendekatan investasi hijau dalam merubah paradigma bisnis di tanah Papua, pemerintah dapat membangun sentra sentra ekonomi berdasarkan kesatuan wilayah adat dan memastikan dikelola oleh anak anak Papua bagi peningkatan kualitas hidup orang asli papua. Menyikapi pertemuan tingkat tinggi tersebut, masyarakat sipil Papua menyatakan sikap: 1. Menolak Pendekatan “Investasi hijau” yang tidak komprehensif mengedepankan perlindungan menyeluruh pada hutan tersisa dan hak hak masyarakat adat di Tanah Papua 2. Menolak Pendekatan skema dagang karbon berbasis proyek yang tidak berkontribusi signifikan pada penurunan emisi gas rumah kaca global yang berdampak langsung pada perubahan iklim 3. Mendukung Pemerintah Daerah untuk perlindungan hutan tersisa di Tanah Papua dan perlindungan hak hak masyarakat adat Masyarakat Sipil Papua: 1. Sulfianto Alias - Perkumpulan Panah Papua 2. Esau Yaung - Papuana Conservation 3. Franky Samperante - Yayasan Pusaka Bentala Rakyat
2 Comments
Peta Konsesi PT HPP di Teluk Bintuni [2] Sekitar dua tahun lalu, ramai diberitakan oleh berbagai media tentang pengungkapan sejumlah kayu ilegal oleh Kepolisian Daerah Provinsi Papua Barat di Kilometer 14, Kampung Wesiri, Kabupaten Teluk Bintuni. Pada proses pengungkapan tersebut ditemukan puluhan paket kayu olahan, ratusan paket kayu campuran dan beberapa batang kayu bulat. Kayu tersebut diduga berasal dari pembalakan liar yang dilakukan oleh PT NKA, Perusahaan pemenang lelang proyek Jalan Bintuni Km 14-Taroi milik A [1] Akhir dari kasus tersebut adalah pengenaan sanksi administrasi oleh Dinas Kehutanan kepada tersangka. Sebelumnya Kepolisian Daerah Papua Barat melimpahkan kasus ini kepada Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat sesuai kewenangannya. PT HPP gagal mengamankan kawasannya? Perlu diketahui bahwa ruas jalan Bintuni-Taroy yang telah dikerjakan sebagian besar terletak di dalam areal konsesi perusahaan kelapa sawit PT HCW Papua Plantation (PT HPP). Perusahaan ini telah memegang persetujuan Prinsip Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Konversi untuk Perkebunan kelapa sawit dari Menteri kehutanan Zulkifli Hasan pada Tahun 2014. Berpedoman pada isi persetujuan prinsip [2], PT HPP wajib untuk mengamankan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang disetujui pencadangannya seluas ±17.885 hektar dari kegiatan perambahan hutan, penebangan liar dan kerusakan hutan lainnya. Apabila ketentuan ini dilanggar maka persetujuan prinsip ini batal dengan sendirinya. Pertanyaannya apakah penebangan liar oleh tersangka HA diketahui oleh PT HPP? Kami tidak perlu menjawab ini, namun kami menilai PT HPP telah gagal mengamankan areal yang telah disetujui oleh negara untuk dikelola oleh PT HPP. Sebenarnya cukup mudah untuk melakukan justifikasi bahwa proyek pembangunan jalan ini berstatus legal atau ilegal. Berdasarkan Data Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat, sebagian besar proyek pembangunan ruas jalan di Papua Barat tidak memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) [3] termasuk Ruas Jalan Bintuni-Distrik Taroy. Kegiatan pembukaan hutan untuk ruas jalan tentunya menyalahi aturan. Semestinya PT HPP perlu mengamankan kegiatan ini sebagaimana amanah persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan. Isi Persetujuan Prinsip Pelepasan Kawasan Hutan atas nama PT HCW Papua Plantation di Kabupaten Teluk Bintuni Nomor S.410/Menhut-II/2014 Siapa PT HPP? PT HPP masuk dalam Grup Ciptana [4]. Di Papua Barat terdapat tiga perusahaan perkebunan kelapa sawit yang terindikasi masuk dalam Grup ini, yaitu PT Mega Mustika Plantation (Kabupaten Sorong), PT Cipta Papua Plantation (Kabupaten Sorong) dan PT HCW Papua Plantation (Kabupaten Teluk Bintuni). Jabatan Komisaris dan Direktur ketiga perusahaan cenderung diisi oleh sekelompok orang yang hampir sama. Total luas lahan yang akan dikelola untuk perkebunan sawit ketiga perusahaan sekitar 40 ribu hektar atau setara dengan tiga kali luas kota Paris. Saham PT HPP sebagian besar dimiliki oleh Jeny Tjandra [5], Istri dari pengusaha ternama pendiri PT Cipta Wijaya Mandiri, Sudarsono Chandrawidjaja. perusahaan ini memegang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Hayu yang beralamat di Jalan Semarang-Purwodadi. Jawa tengah Selain itu, terdapat nama Joe Michael, seorang host acara pancing ikan yang pernah tayang di salah satu televisi terkenal di Indonesia . Dia menjabat sebagai Komisaris Utama PT HPP. Joe Michael merupakan Suami dari Rita Effendy , Penyanyi Pop terkenal dengan lagu “Selamat Jalan Kekasih”. Kemudian ada Agus Soewito Soebandi menjabat sebagai Komisaris Perusahaan. Agus juga tercatat menjabat sebagai President Director di PT Cipta Wijaya Mandiri [6] Ekosistem Penting Dalam Konsesi Terdapat ekosistem penting di dalam areal konsesi PT HPP yang perlu mendapatkan perlindungan seperti Hutan Rawa Primer, Ekosistem gambut dengan Fungsi Lindung, dan Ekosistem Hutan Lahan Kering Primer [7]. Konsesi PT HPP terletak didaerah transisi antara tanah bergambut dan tanah mineral sehingga terdapat berbagai formasi ekosistem penting yang perlu dilindungi. Beberapa Ekosistem ini sangatlah penting sebagai penyangga bagi ekosistem lain yang berada dibawahnya seperti ekosistem mangrove di pesisir teluk yang berfungsi sebagai kawasan strategis keanekaragaman hayati Referensi
[1] https://papuabaratnews.co/hukrim/polisi-tetapkan-satu-tersangka-kasus-illegal-logging-di-bintuni/ [2] Persetujuan Prinsip Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Konversi untuk Perkebunan kelapa sawit atas n ama PT HCW Papua Plantation di Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat. Nomor S.410/Menhut-II/2014 [3] Hasil Diskusi dengan staf Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat, 2019 [4] https://awasmifee.potager.org/?p=1516 [5] Profil Perusahaan PT HCW Papua Plantation. Diakses tanggal 31 Maret 2019 pada website Ditjen AHU [6] http://www.ciptana.com/ [7] http://geoportal.menlhk.go.id/arcgis/apps/Viewer/index.html?appid=38bd05e62ac24eae9b5a057e78389193 |
Archives
November 2024
|