Salah Satu Lahan Perkebunan Sawit di Provinsi Papua Barat Memperingati Hari Hutan Sedunia, masih terdapat berbagai kebijakan perizinan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia khususnya kebijakan terkait penerbitan izin perkebunan kelapa sawit di Provinsi Papua Barat. Perkumpulan Panah Papua mencatat, hingga saat ini terdapat tiga perusahaan pemegang Izin Usaha Perkebunan (IUP) kelapa sawit yang wilayahnya berada dalam kawasan hutan di Provinsi Papua Barat. Total luas IUP keseluruhan sekitar 42 Ribu hektar
Lolos dari Moratorium Sawit Ketiga perusahaan tersebut adalah PT Anugerah Papua Investindo Utama (PT APIU), PT Cipta Papua Plantation (PT CPP) dan PT Mega Mustika Plantation (PT MMP). PT APIU telah memperoleh IUP namun belum ada pelepasan kawasan hutan dari Kementerian LHK. PT CPP dan PT MMP telah memegang IUP dan Surat persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan dari Kementerian LHK namun belum memegang Keputusan Pelepasan Kawasan Hutan dari Menteri LHK. PT CPP dan PT MMP mendapat pengecualian dari Inpres Moratorium Sawit Nomor 8/2018 sedangkan PT APIU harus menunggu kebijakan moratorium sawit berakhir. PT CPP dan PT MMP mendapat pengecualian karena dalam Diktum ke Dua angka 1c Inpres Moratorium Sawit menyatakan bahwa penundaan pelepasan dan tukar menukar kawasan hutan berlaku bagi pemohon yang telah memperoleh persetujuan prinsip namun belum dilakukan tata batas. Tercatat Dinas Kehutanan Kabupaten Sorong telah melakukan pembahasan tata batas PT CPP dan PT MMP pada 28 Apirl 2016. Maladmistrasi Perizinan PT APIU memperoleh IUP pada Tahun 2015 sedangkan PT CPP dan MMP memperoleh IUP pada Tahun 2014. Dalam proses permohonan IUP, pemerintah daerah seharusnya menggunakan Pedoman Permentan 93/2013 (sesuai dengan rezim perizinan untuk permohonan izinnya. Adapun salah satu persyaratan dalam permohonan IUP yaitu pemohon wajib melampirkan SK Menteri dibidang kehutanan tentang pelepasan kawasan HPK (Hutan Produksi Konversi) dan peta pelepasan kawasan HPK untuk permohonan yang berada di kawasan HPK. Berdasarkan peraturan yang berlaku, permohonan tanpa melampirkan SK Menteri, maka IUP tidak dapat diterbitkan oleh pemerintah daerah. Namun realita bahwa IUP telah diterbitkan oleh Pemerintah Daerah. Terdapat kewenangan yang dilampaui oleh penerbit izin sehingga dapat digolongkan ke dalam dugaan maladministrasi perizinan Solusi Kewenangan dalam proses penyelesaian maladminstrasi dilakukan oleh Ombudsman Republik Indonesia. Ombudsman Perwakilan Papua Barat dapat melakukan kajian terkait dugaan maladministrasi dan memanggil pihak yang menerbitkan izin. Ombudsman dapat mengeluakan rekomendasi tentang hasil kajian kepada kepala daerah agar dapat ditindaklanjuti sesuai rekomendasi yang diberikan. Oleh : Bakhtiar Rumatumia, Aloysius Entama, Sulfianto Alias Referensi : Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan. 2019. Perkebunan dan Industri Sawit di Provinsi Papua Barat. Dipresentasikan pada acara sawit berkelanjutan di manokwari. https://geoportal.menlhk.go.id/arcgis/home/ Pusaka, 2016. Hutan lembah kalasou terancam kebun sawit. https://pusaka.or.id/2016/05/hutan-lembah-kalasou-terancam-kebun-sawit/. Diakses tanggal 22 Maret 2020.
0 Comments
Pembukaan Hutan pada Salah Satu Konsesi Sawit di Teluk Bintuni Lompatan virus dari satwa liar ke manusia semakin membuat publik khawatir. Suatu hal yang tidak lazim terjadi ketika virus dari satwa liar mampu menginfeksi manusia (zoonosis) secara langsung tanpa hewan perantara. Hutan alam tropis merupakan ekosistem yang baik bagi satwa liar. Pembukaan hutan skala luas menyebabkan satwa liar berpindah dan peluang kontak dengan manusia akan meningkat. Sebagai contoh infeksi virus Nipah pada Tahun 1998 dari kelelawar buah kepada manusia melalui hewan ternak berawal dari migrasi kelelawar buah akibat pembukaan hutan ke kebun masyarakat. Salah satu hutan alam tropis terluas di Indonesia terdapat di Tanah Papua. Terdapat sekitar 29,4 Juta Hektar Hutan alam tropis papua (FWI, 2018) dan sekitar 14,8 juta hektar telah dibebani izin berbasis lahan skala luas. Dapat dipastikan bahwa terdapat 14,8 hektar hutan alam yang akan mengalami deforestasi terencana. Kondisi tersebut akan berdampak terhadap migrasi satwa liar dan berpotensi besar virus dari satwa liar menginfeksi manusia termasuk jenis virus Corona. Tanah dan Hutan Papua bukan merupakan tanah dan hutan yang tanpa pemilik. Tanah dan hutan tersebut dimiliki oleh masyarakat Adat Papua. Pembukaan hutan alam Papua secara masif berpotensi menyebabkan resiko keterancaman komunitas rentan yaitu masyarakat adat Papua melalui infeksi berbagai jenis virus termasuk Corona.
Riwayat penyakit Zoonosis masih sangat minim ditemukan di Papua namun pernah tercatat terjadi Sistiserkosis di wilayah Pegunungan. Adapun solusi yang penulis tawarkan yaitu pertama, Pemerintah Daerah di tanah Papua perlu meninjau kembali perizinan berbasis lahan skala luas yang telah diberikan sebelumnya, misalnya dari sektor perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan Data Dinas Tanaman Pangan, Hortikulturan dan Perkebunan Provinsi Papua Barat (2020), terdapat 8 dari 17 Izin Usaha Perkebunan kelapa sawit yang belum beroperasi. Pemerintah daerah dapat mempertimbangkan izin tersebut untuk dicabut. Kedua, Pemerintah daerah dapat membantu melakukan pemetaan partisipatif wilayah adat untuk diakui oleh negara. Masyarakat adat diyakini mampu menjaga tanah dan hutan secara lestari. Ketiga, Pemerintah pusat diharapkan tidak membuka papua untuk Investasi berbasis lahan skala luas yang dapat mengancam keberadaan komunitas masyarakat adat dan hutan Papua. Pendekatan ekonomi terbaik untuk Papua yaitu pengembangan ekonomi berbasis kampung bukan investasi dari luar. Ketiga solusi ini akan mewujudkan Papua Aman, Damai dan Tangguh dari serangan Virus seperti Corona. Referensi: FWI. 2019. Deforestasi dari masa ke masa di Tanah papua. http://fwi.or.id/publikasi/deforestasi-dari-masa-ke-masa-di-tanah-papua Dinas Tanaman Pangan, Hortikulturan dan Perkebunan Provinsi Papua Barat. 2020. Perkebunan dan Industri Sawit di Provinsi Papua Barat. Dipaparkan dalam acara RAD sawit berkelanjutan di Manokwari. Consession area of Oil Palm Company, PT BAPP in Tambrauw District, West Papua. Indonesia Commitment of the Governor of West Papua Province to obtain 70 percent of protected areas in West Papua Spatial Planning Revision is quite strong and is always heard directly spoken by the Governor at the last few meetings. But until now the West Papua spatial planning revision team has not reached that percentage. Based on the latest spatial planning revised data, Percentage of protected areas is still at 56.14 percent. Reaching 70 percent, revision team must allocate a cultivation area (especially one that has a permit area) to enter into a protected area in spatial planning document. This work is not easy, requires carefulness in permit data and building commitment of stakeholders. The author intentionally wrote this article in the hope that it could be used by the spatial planning revision team who are jointly realizing the commitment of the Governor of West Papua Province.
PT Bintuni Agro Prima Perkasa (PT BAPP) in Tambrauw District, West Papua might have been quite happy because it had obtained a Forest Area Release area for oil palm plantations that was wider than the area determined by Zulkifli Hasan, the Minister of Forestry at that time. On September 29, 2014, the Minister of Forestry signed a Decree on the Release of PT BAPP's oil palm plantations totaling ± 19,368.77 hectares. However, on the map attached to the decree there are ± 32,390.50 hectares of Forest Area which has been released as other use areas/APL. There are ± 13,021.73 hectares which should be able to be maintained as a Forest Area but the Ministry of Forestry does not seem to be researching this well anymore so this area has also changed to APL. Before the decree on the release of forest areas by the Minister of Forestry was set, on June 25, 2014, the Directorate General of Forestry Planning carried out the demarcation of the boundary and delivered a letter of the results of the boundary demarcation to the Minister. The letter stated that there were ± 13,021.73 hectares of primary forest that was excluded from the Forest area Release and followed up with the boundary demarcation. According to the author, the mean of the word "excluded" from the release of forest area means that this area is not part of what will be released as APL. The letter seemed neglected so that this area had also changed to APL. PT BAPP could have expanded its permit area by requesting an expansion of the ± 13,021.73 hectare primary forest. In November 2006 and 9 August 2007, PT BAPP made a request of ± 40,000 hectares, it is not impossible that this area would be targeted by the company. Moreover, legally, this area is not a forest area, it is very easy to obtain an operational permit. We also know together that the strong action of Mpur Indigenous Peoples is heard to stop the operationalization carried out by PT BAPP. It is time for the Spatial planning Revision team to save the indigenous peoples territory. This area can be included in the socio-cultural strategic area, it is hoped that after it is integrated in the regional spatial planning, it can become a priority for the government in the preparation of planning documents such as the Medium-Term Development Plan, Strategic Plans and Work Plans, especially to encourage recognition and protection as well as empowering the community. This protection can also contribute to saving Papua's Primary natural forests, known as the last forest in the World. Reference: -SK 738 / MENHUT-II / 2014 concerning the Release of the Forest Area for PT BAPP's Oil Palm Plantations - Public Service and Spatial Planning Office. 2020. Revised RTRW of West Papua Province. Presented at the Sustainable Palm Oil Discussion at the Swissbel Hotel, Manokwari. February 19, 2020 Konsesi PT BAPP, Kabupate Tambrauw, Provinsi Papua Barat Komitmen Gubernur Provinsi Papua Barat untuk memperoleh 70 persen kawasan lindung dalam revisi RTRW Papua Barat cukup kuat dan selalu terdengar diucapkan langsung oleh Gubernur pada beberapa pertemuan terakhir. Namun hingga saat ini tim revisi RTRW Papua Barat masih belum mencapai persentase tersebut. Berdasarkan data Revisi RTRW terakhir, persentasi kawasan lindung masih berada pada angka 56,14 persen. Mencapai angka 70 persen, tim revisi harus mengalokasikan kawasan budidaya (terutama yang telah memiliki izin) untuk masuk ke dalam pola ruang lindung. Pekerjaan ini tidak mudah, membutuhkan ketelitian dalam melihat data perizinan dan membangun komitmen para pihak. Penulis dengan sengaja menulis artikel ini dengan harapan dapat digunakan oleh Tim Revisi RTRW yang sedang bersama mewujudkan komitmen Gubernur Provinsi Papua Barat. PT Bintuni Agro Prima Perkasa (PT BAPP) yang sedang beroperasi di Kebar, Kabupaten Tambrauw, Provisi Papua Barat mungkin cukup senang karena telah memperoleh areal Pelepasan Kawasan Hutan untuk perkebunan sawit yang lebih luas dari areal yang ditetapkan oleh Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan pada masa itu. Pada 29 September 2014, Menteri Kehutanan menandatangani SK Pelepasan untuk perkebunan kelapa sawit PT BAPP seluas ± 19.368,77 Hektar. Namun pada Peta yang terlampir dalam SK tersebut terdapat ± 32.390,50 hektar Kawasan Hutan (HPK) yang dilepaskan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL). Ada ± 13.021,73 hektar yang seharusnya dapat dipertahankan sebagai Kawasan Hutan namun Kementerian Kehutanan nampaknya tidak meneliti ini lagi secara baik sehingga areal ini ikut berubah menjadi APL. Sebelum SK pelepasan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan ditetapkan, pada Tanggal 25 Juni 2014, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan melakukan penataan batas dan menyampaikan Surat hasil penataan batas kepada Menteri. Surat tersebut menyatakan bahwa terdapat ± 13.021,73 hektar hutan primer yang dikeluarkan dari Pelepasan Kawasan Hutan dan ditindaklanjuti dengan tata Batas. Menurut Penulis, maksud dari kata ‘”dikeluarkan” dari pelepasan kawasan hutan bermakna bahwa kawasan ini tidak menjadi bagian yang akan dilepaskan menjadi APL. Surat tersebut terkesan diabaikan sehingga kawasan ini ikut berubah menjadi APL. SK Pelepasan Kawasan Hutan Untuk PT BAPP PT BAPP bisa saja melakukan perluasan areal izin miliknya dengan melakukan permohonan perluasan terhadap hutan primer seluas ± 13.021,73 hektar tersebut. Pada November 2006 dan 9 Agustus 2007, PT BAPP melakukan permohonan seluas ± 40.000 Hektar, bukan tidak mungkin wilayah ini akan diincar oleh perusahaan. Apalagi secara legal, wilayah ini bukan merupakan kawasan hutan, sangat mudah memperoleh izin operasionalnya. Kita juga ketahui bersama bahwa sangat kuat terdengar penolakan masyarakat adat untuk menghentikan operasionalisasi yang dilakukan oleh PT BAPP. Sudah saatnya tim Revisi RTRWP menyelamatkan wilayah masyarakat adat tersebut. Wilayah ini dapat dimasukkan dalam kawasan strategis sosial budaya, diharapkan setelah diintegrasikan dalam RTRWP, dapat menjadi prioritas pemerintah dalam penyusunan dokumen perencanaan seperti RPJMD, Rencana Strategis dan Rencana Kerja terutama untuk mendorong pengakuan dan perlindungan ha serta pemberdayaan komunitasnya. Penyelamatan ini juga sekaligus dapat berkontribusi pada penyelamatan hutan alam Primer Papua yang dikenal sebagai hutan terakhir di Dunia.
Referensi: -SK 738/MENHUT-II/2014 tentang Pelepasan Kawasan HPK untuk Perkebunan Sawit PT BAPP -Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang. 2020. Revisi RTRW Provinsi Papua Barat. Dipresentasian pada acara Diskusi Sawit Berkelanjutan di Swissbel Hotel. 19 Februari 2020 Kondisi Jalan di Salah Satu Konsesi Perkebunan Sawit di Provinsi Papua Barat Grup Indogunta merupakan kelompok perusahaan pemegang izin perkebunan kelapa sawit terluas di Provinsi Papua Barat. Indogunta Grup terdiri dari empat perusahaan perkebunan yaitu PT Bintuni Agro Prima Perkasa di Kabupaten Tambrauw, PT Subur Karunia Raya di Kabupaten Teluk Bintuni, PT Rimbun Sawit Papua di Kabupaten Fakfak dan PT Menara Wasior di Kabupaten Teluk Wondama. Total luas keseluruhan izin empat perusahaan sekitar 127.679 hektar atau hampir mendekati luas kota New York. Luasan tersebut diperoleh dari berbagai data seperti Data perizinan yang dikeluarkan oleh Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Barat, Izin Prinsip Pelepasan kawasan Hutan, KLHK serta berita acara hasil penataan batas kawasan hutan KLHK.
Hanya 9 Grup perusahaan yang menguasai bisnis perkebunan sawit di Papua Barat yaitu Grup Indogunta, Capitol, ANJ, Genting, Ciptana, Rajawali, Mega Masindo, Indonusa, dan Kayu lapis Indonesia dengan total luas Izin Usaha Perkebunan yaitu 490.191 Hektar. Setelah Indogunta, Grup ANJ merupakan pemegang izin terluas kedua disusul oleh Grup Capitol pada posisi ketiga Sebagaimana diberitakan pada beberapa tulisan bahwa Indogunta Grup diduga terhubung dengan Salim Grup (perusahaan pemegang merk terkenal dibawah label Indofood) melalui Beneficial ownership. Tiga dari keempat perusahannya telah beroperasi yaitu PT Bintuni Agro Prima perkasa (PT BAPP), PT Subur Karunia Raya (PT SKR) dan PT RImbun Sawit Papua (PT RSP). PT BAPP tidak mengelola komoditas sawit di wilayah konsesinya melainkan mengembangan perkebunan jagung yang saat ini ditentang oleh beberapa kalangan. Referensi: -https://awasmifee.potager.org/?p=1611&lang=id -Materi Kepala Dinas Tanaman Pangan,Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Barat tentang Perkebunan dan Industri Sawit di Provinsi Papua Barata dalam acara sawit berkelanjutan. 19 Februari 2020. -Izin Prinsip Pelepasan Kawasan Hutan. KLHK. 2014 -Berita Acata tata Batas kawasan Hutan KLHK. 2014 - https://atlas.cifor.org/papua/ |
Archives
April 2023
|