Wilayah Konsesi PT BAPP mencakup empat distrik (Arfu, Amberbaken, Senopi dan Kebar) (Sumber, KemenLHK) Pada Penghunjung tahun 2017, sedang hangat didiskusikan tentang status kawasan lembah kebar Kabupaten Tambrauw yang telah mengalami perubahan peruntukan kawasan hutan dari Hutan Produksi Konversi (HPK) menjadi Areal Penggunaaan Lain (APL). Berdasarkan informasi dari beberapa pemberitaan media, diketahui bahwa Izin pelepasan kawasan hutan telah diterbitkan oleh Menteri LHK dengan nomor SK 873/Menhut-II/2014 (Pasificpos.com, 9 Desember, 2017). Dalam pemberitaan lain juga dijelaskan bahwa ijin pelepasan kawasan hutan diperuntukkan bagi perkebunan sawit seluas 19 Ribu Ha atas nama PT Bintuni Agro Prima Perkasa (PT BAPP). Padahal pada Tahun 2015, Bupati Kabupaten Tambrauw telah menerbitkan Ijin lokasi melalui SK Nomor 551/296/2015 untuk pengembangan budidaya tanaman pangan dan pengolahan di Lembah Kebar seluas 19 Ribu Ha. Tentunya kedua ijin ini merupakan hal yang bertentangan. Berawal dari permasalan tersebut, muncul beberapa gerakan pemuda mewakili masyarakat adat suku Mpur untuk melakukan protes terhadap penerbitan ijin pelepasan kawasan hutan oleh KLHK.
Hasil review Peraturan Menteri LHK Nomor P.51 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan HPK, terdapat beberapa syarat dalam proses permohonan pelepasan kawasan HPK, salah satu diantaranya adalah izin lokasi dari gubernur atau Bupati/Walikota. Berdasarkan review tersebut, sangat kecil kemungkinan Menteri LHK menerbitkan SK Pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit dengan ijin lokasi yang diperuntukkan untuk pengembangan budidaya tanaman pangan dan pengolahan. Berdasarkan data perijinan KLHK, telah diterbitkan ijin pelepasan kawasan hutan oleh Menteri LHK kepada PT BAPP. Sesuai dengan laporan Tim Terpadu (2014),permohonan pelepasan kawasan hutan ( HPK menjadi APL) oleh PT BAPP telah diterima berdasarkan adanya ijin lokasi. Kawasan tersebut kemudian dikukuhkan melalui SK 710 Tahun 2014 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Bagaiman dengan Rencana Tata Ruang Wilayah(RTRW) Provinsi Papua Barat? Apakah RTRW tersebut mengakomodir rencana perkebunan sawit di dataran Kebar? Jawabannya tentu tidak. Seusai dengan Peraturan Daerah Provinsi Nomor 4 Tahun 2013 tentang RTRWP Papua Barat, dataran kebar masuk dalam kawasan yang diperuntukkan sebagai kawasan pembibitan sapi. Pemanfaatan kawasan yang tidak sesuai peruntukan merupakan suatu pelanggaran dalam tata ruang dan tidak dapat diputihkan dalam Revisi RTRW.
1 Comment
Wilayah adat adalah tanah adat yang berupa tanah, air, dan atau perairan beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dengan batas-batas tertentu, dimiliki, dimanfaatkan dan dilestarikan secara turun-temurun dan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang diperoleh melalui pewarisan dari leluhur mereka atau gugatan kepemilikan berupa tanah ulayat atau hutan adat (Permendagri 52 Tahun 2014). Berdasarkan pengalaman pemetaan partisipatif, secara umum Wilayah adat memiliki dua zonasi yatu zona untuk pemanfaatan dan zona untuk perlindungan. Contohnya pada suku Hatam, Pegunungan Arfak dikenal adanya wilayah Susti, Mbahamti dan Nimahamti. Mbahamti digolongkan dalam zona perlindungan sedangkan Susti dan Nimahamti diketegorikan ke dalam Zona Pemanfaatan. Bagaimana sistem zonasi tradisional tersebut jika diintegrasikan ke dalam Rencana Tata Ruang Daerah?
Sesuai dengan peraturan yang berlaku, terdapat dua fungsi dalam pola ruang RTRW yaitu Pola Ruang Lindung dan Budidaya. Apakah wilayah adat dapat dikategorikan ke dalam pola ruang lindung, budidaya atau pada kedua pola ruang tersebut? Perda Nomor 5 Tahun 2015 RTRW Kalimantan Tengah dapat dijadikani contoh yang baik dalam kasus ini. Dalam Perda tersebut wilayah MHA dikategorikan ke dalam dua fungsi yaitu lindung dan budidaya. Pada pola ruang lindung, terdapat kawasan Hutan adat seluas 600.000 Ha dan pada pola ruang budidaya terdapat kawasan tanah adat seluas 900.000 Ha. Dapat disimpulkan bahwa pada Perda RTRW Kalimantan tengah, wilayah adat masuk dalam ke dua fungsi dalam pola ruang. Namun masuknya hutan adat dalam pola ruang lindung dapat didefinisikan oleh setia porang sebagai kawasan yang memungkinkan untuk dilindungi dan tidak dapat dimanfaatkan untuk keperluan budidaya. Dari definisi tersebut muncul pertanyaan bagaimana dengan hutan adat yang memiliki zona pemanfaatan oleh masyarakat hukum adat? Berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia , tidak ditemukan nomenklatur dengan istilah “wilayah adat”. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017, terdapat satu nomenklatur yaitu ”Kawasan konservasi adat maritim”. Penulis mengartikan kawasan tersebut sama dengan kawasan dengan fungsi lindung dalam wilayah adat (misalnya kawasan yang sakral, kawasan yang memiliki sejarah historis nenek moyang dsb). Papua sebagai wilayah otonomi khusus semestinya cukup kuat secara politik untuk memasukkan wilayah adat dalam Perda RTRW daerahnya. Nomenklaturnya tinggal diperjelas misalnya dalam pola ruang lindung wilayah adat dapat ditulis “wilayah adat dengan fungsi perlindungan” dan “wilayah adat dengan fungsi budidaya” pada pola ruang budidaya. |
Archives
April 2024
|