|
KontraS Tanah Papua Wilayah Papua Barat telah bertemu langsung dengan BENIDIKTUS ATETA (ketua marga Ateta) di Kampung Agoda di Distrik Sumuri, untuk mengecek proses awal masuknya PT.BSP di wilayah adat marga Ateta dan juga dokumen-dokumen penting terkait pelepasan tanah adat marga Ateta kepada PT.BSP.
PT. BSP telah membuat Perjanjian Kerjasama Penggunaan dan Pemamfaatan Tanah/Lahan Untuk Pembangunan Kebun Kelapa sawit di Lahan Marga Ateta. Perjanjian Penggunaan dan Pemamfaatan lahan tersebut, diduga dibuat sepihak karena tidak melibatkan ketua marga besar Ateta yakni BENIDIKTUS ATETA. BENIDIKTUS ATETA yang ditemui di Kampung Agoda Distrik Sumuri, mengatakan “sebagai Kepala marga besar Ateta, pihak perusahaan PT.BSP tidak pernah bertemu dengannya untuk membicarakan terkait Perjanjian Kerjasama Penggunaan dan Pemamfaatan Tanah/Lahan Untuk Pembangunan Kebun Kelapa sawit di Lahan Marga Ateta. BENIDIKTUS ATETA juga mengatakan jangangkan berbicara tentang Perjanjian Kerjasama Penggunaan dan Pemamfaatan Tanah, untuk masuknya (PT.BSP) melakukan aktifitas perkebunan kelapa sawit di wilayah adat kami marga Ateta pun kami TOLAK, kami tidak mengizinkan perusahaan kelapa sawit masuk di Wilayah adat kami”. KontraS Tanah Papua Wilayah Papua Barat menilai Perjanjian Kerjasama Penggunaan dan Pemamfaatan Tanah/Lahan Untuk Pembangunan Kebun Kelapa sawit di Lahan Marga Ateta, dibuat secara sepihak oleh PT. BSP karena tidak melibatkan marga besar Ateta yang dalam hal ini diketuai oleh BENIDIKTUS ATEA, oleh sebab itu Perjanjian Kerjasama Penggunaan dan Pemamfaatan Tanah/Lahan milik marga Ateta tidak sah dan cacat hukum. Sebuah perjanjian, termasuk perjanjian penggunaan lahan, harus memenuhi syarat sah perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata yang diantaranya; (1). Kesepakatan: Kedua belah pihak (perusahaan dan pihak yang berhak atas tanah) harus sepakat atas isi perjanjian, (2). Kecakapan: Para pihak harus cakap hukum, dalam hal ini, mampu membuat perjanjian, (3). Objek: Perjanjian harus jelas mengenai objek yang diperjanjikan, dalam hal ini, tanah dan (4). Sebab yang Halal: Perjanjian tidak boleh bertentangan dengan hukum atau norma kesusilaan. KontraS Tanah Papua Wilayah Papua Barat menilai syarat-syarat Perjanjian Kerjasama Penggunaan dan Pemamfaatan Tanah/Lahan Untuk Pembangunan Kebun Kelapa sawit di Lahan Marga Ateta tidak terpenuhi sebagai syarat-sayarat sahnya suatu perjanjian karena pembuatan perjanjian tersebut tidak melibatkan pihak yang berwewenang. Perjanjian yang melibatkan tanah marga Ateta, pihak PT. BSP harus melibatkan pihak yang berhak dan berwenang atas tanah tersebut. Jika seseorang yang tidak memiliki wewenang mewakili masyarakat, perjanjian tersebut bisa dianggap cacat hukum dan Perjanjian tersebut dianggap, perjanjian yang illegal (illegal agreement). Dalam kasus ini, perjanjian dengan pihak yang tidak berhak bisa dibatalkan karena tidak memenuhi syarat kesepakatan dan sebab yang halal. Perjanjian penggunaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit yang dibuat dengan seseorang yang tidak mewakili komunitas masyarakat setempat, kemungkinan besar tidak sah. Hal ini karena perjanjian tersebut berpotensi melanggar hak-hak masyarakat adat atau komunal atas tanah yang mereka kuasai secara turun temurun. KontaS Tanah Papua Wilayah Papua Barat menduga PT.BSP telah memfaatkan dua (2) orang dari anggota keluarga marga Ateta untuk meloloskan kepentingan aktifitas perkebunan kelapa sawit di atas wilayah adat marga Ateta. Informasi mengenai kedua orang dari anggota keluarga marga Ateta tersebut di Peroleh dari komunitas masyarakat marga Ateta di Kampung Agoda, Distrik Sumuri, tempat dimana PT.BSP akan melaksanakan aktifitas Perkebunan Kelapa Sawit. Informasi tersebut didukung dengan beberapa bukti yang kuat (bukti yang didapat di lapangan), dimana terdapat foto penyerahan uang konpensasi pembayaran lahan, Perjanjian Kerjasama Penggunaan dan Pemamfaatan Tanah/Lahan Untuk Pembangunan Kebun Kelapa sawit di Lahan Marga Ateta di Distrik Sumuri. KontraS Tanah Papua Wilayah Papua Barat Kontak Person : Mambrasar Musa (Koordinator KontraS Papua Barat) HP: +62 821 9899 5587
0 Comments
Benediktus Ateta selaku orang tua adat (Kepala Marga Ateta) melaporkan dugaan pelanggaran hukum terhadap PT Borneo Subur Prima (PT BSP) yang telah berkegiatan di Distrik Sumuri dan Distrik Aroba tanpa Izin/Rekomendasi Lingkungan. Berdasarkan pemantauan masyarakat bahwa PT BSP telah melaksanakan beberapa aktifitas seperti melakukan pengukuran tanah dan memfasilitasi perolehan tanah dengan bersepakat dengan oknum tertentu masyarakat adat dari Marga Ateta yang terjadi pada Tanggal 08 Mei 2025. Selain itu kami juga melaporkan kegiatan pembentukan Koperasi Plasma oleh PT BSP di Distrik Aroba yang dilakukan perusahaan pada Tanggal 6 Mei 2025. Kedua kegiatan ini seharusnya tidak dapat dilakukan karena Dokumen AMDAL yang menjadi pedoman berkegiatan belum ada. Selain itu Rekomendasi Lingkungan belum diterbitkan oleh Bupati sebagai legalitas untuk melaksanakan kegiatan. Akibat tindakan perusahaan, maka kami Komunita Marga Ateta sangat dirugikan karena proses perolehan tanah ini sama sekali tidak melibatkan kami selaku orang tua adat. Kami punya hutan adat tersisa yang ada ini terancam hilang akibat adanya rencana perekebunan kelapa sawit PT BSP. Di dalam hutan adat yang kami kelola ada sumber kehidupan. Disitu kami makan dan hidup secara turun temurun. Ada tempat penting dan lumbung pangan kami di sana. Jika hutan adat terakhir itu hilang maka kami mau hidup di mana? tutur Benediktus Ateta selaku Ketua Marga Ateta Musa Mambrasar sebagai kuasa Hukum dari Perwakilan Marga Ateta menyatakan bahwa Pasal 109 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa izin lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). AMDAL harus diajukan sebelum kegiatan usaha atau kegiatan dilakukan. Jika AMDAL belum selesai dibahas dan/atau mendapat persetujuan, maka kegiatan tidak boleh dilakukan. "Dari Tapak Mengawal Rencana Revisi UU Kehutanan: Akhiri Pola Pikir Tak Adil Ala Kolonial”11/6/2025 Jakarta, 9 Juni 2025: Rencana revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (RUUK) harus menjadi momentum perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Indonesia tidak boleh lagi menggunakan paradigma kolonial yang menganggap hutan sebagai komoditas milik negara semata. Seharusnya, Indonesia bisa menata kelola hutan dengan memberi pengakuan penuh atas hak-hak masyarakat adat dan penduduk lokal sebagai penjaga hutan yang sah.
“UU Kehutanan harus berubah secara total karena sudah tidak relevan dengan tantangan kerusakan hutan yang mencapai rata-rata 689 ribu hektare per tahun, serta terhadap perlindungan dan pengakuan atas hak-hak masyarakat adat dan lokal. Jika tidak, Indonesia terancam gagal mencapai target pengurangan emisi di sektor FoLU,” kata Anggi Putra Prayoga, juru kampanye Forest Watch Indonesia dalam diskusi terbatas Forest Watch secara daring. Diskusi membahas rencana revisi UU Kehutanan yang telah masuk Prolegnas 2025. Anggi menekankan bahwa terdapat tiga pijakan utama dalam momentum RUUK yang harus berubah. Pertama, pentingnya mengubah paradigma kolonial yang tidak adil dalam memaknai hak menguasai negara. Klaim Kementerian Kehutanan atas 106 juta hektare wilayah daratan dan perairan ke dalam bentuk kawasan hutan milik negara adalah penetapan sepihak, yang semata-mata hanya aspek legalitas saja. Padahal dalam anotasi Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 45 tahun 2011, terdapat empat proses pengukuhan kawasan hutan, yakni penunjukan, penata batasan, pemetaan, dan penetapan. “Pengukuhan kawasan hutan yang dilakukan Kementerian Kehutanan cacat dalam proses penata batasan kawasan. Kawasan hutannya legal tetapi tidak mendapatkan legitimasi dari masyarakat adat dan lokal di tapak. Bahkan anomali penetapan kawasan hutan melonjak 20 kali lipat dalam setahun terakhir, yang biasa rata-rata per tahunnya hanya 500 ribu hektare,” tegas Anggi. Kedua, momen RUUK ini harus mampu menolak berbagai bentuk kamuflase pembangunan berkelanjutan, seperti program swasembada pangan dan energi, yang justru menjadi alat legitimasi pengrusakan hutan secara terencana dan pengingkaran terhadap hak-hak masyarakat adat dan lokal. Ketiga, RUUK harus secara tegas mengakomodasi dan mengimplementasikan putusan MK, khususnya Putusan MK Nomor 34, 35, 45, dan 95, yang menjunjung tinggi hak-hak masyarakat adat dari proses pengukuhan kawasan hutan yang semena-mena serta dari praktik perizinan ekstraktif yang merusak. Menurut Riyono, anggota DPR RI dari Fraksi PKS, UU Kehutanan perlu direvisi dengan serius, dengan mengutamakan keadilan bagi masyarakat adat, penegakan putusan MK, serta mengintegrasikan pengelolaan hutan dan pangan. Dalam diskusi, Raden dari Walhi Kalsel menekankan selama paradigma kolonial bahwa hutan adalah milik negara masih dipertahankan, Masyarakat Adat Meratus akan terus dikorbankan demi izin ekstraktif. “RUUK harus berpihak pada keadilan ekologis dan pengakuan utuh atas hak-hak Masyarakat Adat Meratus, yang tersingkir karena wilayah adat mereka dijadikan kawasan hutan,” tambah Raden. Di Kalimantan Barat, hutan yang luas tak menjamin kesejahteraan karena tata kelolanya masih dikuasai logika kolonial dan kepentingan kapital. “Hutan Tanaman Industri di dalam konsesi kehutanan adalah kebun monokultur yang bukan hutan. RUU Kehutanan bukan hanya soal regulasi, tapi soal keadilan dan masa depan,” tegas A Syukri dari Link-Ar Borneo. RUUK harus menjadi benteng terhadap ekspansi korporasi, bukan jalan tol bagi proyek pangan dan energi yang mengorbankan hutan dan masyarakat adat. Darwis dari Green of Borneo Kaltara menegaskan tanpa perlindungan sosial, penerapan prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA), dan pelaksanaan Putusan MK 35 di tingkat tapak, revisi ini hanya akan memperluas konflik, kriminalisasi, dan kerusakan ekologis di Kaltara atas nama pembangunan. Afifuddin dari WALHI Aceh menambahkan jika RUUK tak berpihak pada rakyat dan ekosistem, maka yang lahir bukan solusi, tapi legalisasi krisis di Aceh. Sulfianto dari Panah Papua menegaskan bahwa pendekatan eksploitatif dalam RUUK harus dihentikan, apalagi jika tanpa transparansi dan persetujuan masyarakat adat, maka yang terjadi bukan pembangunan, tapi penjajahan dalam bentuk food estate. Di Jambi, transisi energi yang dijalankan konsesi kehutanan justru jadi kedok baru perampasan hutan, menggusur kebun rakyat, hingga konsesi yang berubah jadi tambang ilegal. “RUUK harus dikawal ketat agar narasi hijau tidak terus dipakai untuk mengabaikan hak ulayat dan merampas ruang hidup masyarakat,” tegas Oscar Anugrah dari WALHI Jambi. Penguasaan sepihak atas hutan di Gorontalo sejak kolonial hingga hari ini juga terus berlangsung dalam rupa baru, yakni investasi, proyek monokultur, dan proyek bioenergi di Kabupaten Pohuwato yang meminggirkan masyarakat lokal. “RUUK harus menjadi alat koreksi terhadap warisan ketimpangan ini, bukan justru melanggengkannya demi kepentingan korporasi dan kepentingan transisi energi negara importir atas sumber daya hutan di Gorontalo," tambah Defri Setiawan dari Walhi Gorontalo. Di tengah keterbatasan ekologis pulau-pulau kecil Maluku, kebijakan kehutanan tak bisa terus mengulang sejarah pengabaian dengan menunjuk wilayah adat menjadi kawasan hutan negara, bias pulau besar, hingga lahirnya proyek biomassa di Pulau Buru yang menggusur ruang hidup. “Sudah saatnya masyarakat adat tidak sekadar diajak berpartisipasi, tapi diakui haknya sebagai pemilik sah hutan yang mereka rawat turun-temurun,” tegas Zul dari KORA Maluku. Faizal Ratuela dari WALHI Malut turut menambahkan ketika negara menjadikan pulau-pulau tak berpenghuni sebagai celah ekspansi proyek strategis nasional, tanpa melihat relasi komunal masyarakat dan daya dukung ekologi, maka yang dikorbankan bukan hanya hutan, tapi juga identitas, kesehatan, dan masa depan pulau-pulau yang rentan di garis gempa dan krisis iklim. Dr. Andi Chairil Ichsan Kepala LPPM Universitas Mataram turut menambahkan bahwa RUUK bukan sekadar dokumen hukum, tapi cerminan memahami ulang makna hutan, memperbaiki struktur tata kelola, dan memastikan bahwa kekuasaan atas hutan tidak lagi dimonopoli, melainkan dibagi secara adil dan transparan demi masa depan sosial-ekologis yang berkeadilan. Selain itu, Dessy Eko Prayitno, S.H., M.H. dari Universitas Indonesia menambahkan bahwa pengakuan hak masyarakat dan tata kelola hutan yang transparan, partisipatif, dan akuntabel harus menjadi roh dari UUK yang baru, baik pada tahap pengukuhan, perizinan, pengawasan, dan penegakan hukumnya. Narahubung : Alvin Media Forest Watch Indonesia - +62 857-2034-6154 Dokumentasi : https://s.id/MateriSuaraTapakRevisiUUK |
Archives
June 2025
|
RSS Feed