SALAH KAPRAH PEMDA MANOKWARI ATAS PENUNDAAN PENGUNDANGAN RAPERDA MENJADI PERDA MASYARAKAT ADAT7/12/2025 [MANOKWARI] – Minggu, 7 Desember 2025, Pemerintah Kabupaten Manokwari mengumumkan penundaan proses pengundangan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pengakuan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Manokwari.
Keputusan itu diambil secara tertutup untuk memastikan penyusunan regulasi yang lebih komprehensif dan matang, serta sejalan dengan aspirasi seluruh pemangku kepentingan, terutama memastikan keberadaan beberapa sub suku dari suku besar Arfak yang secara hukum dan kewilayahan adatnya. Bupati Manokwari, Hermus Indouw menjelaskan bahwa Raperda tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat ini sangat penting, namun untuk memastikan sub-sub suku dari Suku Besar Arfak yang belum di muat dalam Peraturan Daerah ini, sebagai Bupati Manokwari menyatakan secara resmi bahwa Raperda PPMHA Manokwari di pending. “Raperda tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat ini sangat penting, namun untuk memastikan sub-sub suku dari Suku Besar Arfak yang belum di muat dalam Peraturan Daerah ini saya bupati manokwari menyatakan secara resmi, bahwa Raperda PPMHA Manokwari di pending,” ungkap Bupati Manokwari, Senin (24/11/2025). Menurut Bupati Manokwari dengan di pendingnya Rancangan Peraturan Daerah ini, merupakan langkah cermat yang diperlukan untuk menyempurnakan. Meskipun Raperda ini didorong dengan penuh semangat untuk memberikan landasan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat hukum adat dan terdapat beberapa aspek krusial yang memerlukan pendalaman lebih lanjut. Sebelumnya Bupati Manokwari bersama intelektual/tokoh masyarakat adat Sub Suku Sough melakukan pertemuan, Senin (24/11/2025) di Sasana Karya, Ruang Rapat Kantor Bupati Manokwari. Raperda PPMHA Manokwari ini, di awali dengan tahapan perencanaan pada tahun 2019. Selanjutnya drafting Raperda PPMHA dan masuk dalam agenda Propemperda sebagai inisiatif DPRK Manokwari pada tahun 2020. Selanjutnya Raperda PPMHA dilakukan sosialisasi, pelaksanaan pembobotan Naskah Akademik dan Rancangan Peraturan Daerah melalui musyawara adat di Dewan Adat Papua Wilayah III Doberay serta penyerahan draf ke DPRK Manokwari tahun 2023. Pembahasan Raperda PPMHA sesuai dengan mekanisme sidang yang ada di DPR dan disetujui oleh DPRK Manokwar melalui sidang paripurna pada 19 Desember 2024. Pada tahap proses pengundangan, tiba-tiba Raperda PPMHA di pending oleh Bupati Manokwari secara sepihak tanpa melibatkan Suku Besar Arfak dan tiga kepala Sub suku serta suku lainnya. Rapat paripurna adalah bagian dari prosedur yang sah dalam proses pembentukan peraturan daerah (Perda), maka Ranperda yang sudah di paripurnakan oleh DPRK Manokwari, tidak bisa di pending begitu saja. Bupati Manokwari bersama para intelektual dan masyarakat Hukum adat Sub Suku Sough mempertanyakan, mengapa Sub Suku Sough tidak dimasukan dalam Rancangan Perda? Sub Suku Sough adalah sebagai bagian dari Suku Besar Arfak yang tidak bisa dipisahkan. Adapun alasan Bupati Manokwari pending Raperda PPMHA Manokwari, sebagai berikut:
Tujuan Raperda PPMHA pada setiap wilayah administrasi Kabupaten di Tanah Papua, menjadi hal yang sangat penting untuk;
Ketika Raperda di pending, semestinya DPRK jalur afirmasi mengambil langkah untuk koordinasi kembali ke Bupati dan menyurati ke Dewan Adat Papua (DAP) Wilayah III Doberay, fasilitasi rapat dengan tokoh-tokoh adat untuk mencapai mufakat terkait Raperda PPMHA sebelum diundangkan menjadi Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Manokwari. Merespon hal itu, Hans Lodewijk Mandacan selaku Kepala Suku Besar Arfak turunan Lodewijk menyampaikan bahwa, kenapa Arfak disebut suku besar karena secara geografis wilayahnya luas dan Suku Besar Arfak itu ada sub-sub sukunya. Dalam sub-sub suku juga ada wilayah-wilayah adatnya. Menurut Hans L. Mandacan, kami Suku Besar Arfak itu tidak bisa dipisahkan, namun sesuai dengan perkembangan administrasi pemerintahan, sub-sub suku itu secara kewilayahan adatnya terbagi ke beberapa wilayah administrasi pemerintahan, seperti Manokwari, Pegunungan Arfak, Manokwari Selatan, Teluk Bintuni, Wondama dan Tambrauw. “Selaku Kepala Suku Besar Arfak dan juga Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Wilayah III Doberay mengucapkan terima kasih kepada yang menggagas Perda pengakuan ini,” ujar Hans L. Mandacan, Minggu (07/12/2025). “Raperda PPMHA ini sangat penting untuk memperoleh kepastian hukum terhadap keberadaan wilayah adat dan nilai-nilai tradisionalnya. Raperda ini tidak mempengaruhi hak politik karena berbicara dengan hak politik itu diatur dalam peraturan tersendiri/terpisah,” tegas Kepala Suku Besar Arfak. Karena itu, selaku Kepala Suku Besar Arfak memintah agar Pemerintah Daerah bersama DPRK Manokwari, segerah fasilitasi rapat, undang tokoh-tokoh adat untuk mencapai mufakat di forum bersama, sebelum penutupan sidang paripurna agar Raperda PPMHA ini dapat di proses untuk pengundangan. Sementara itu, Damianus Walilo, Direktur Perkumpulan Nayak Sobat Oase, menyambut baik usulan Bupati Manokwari dan Kepala Suku Besar Arak itu bahwa sebelum di proses ketahap pengundangan, alangkah baiknya dapat diakomodir semua usulan itu agar tidak ada yang merasa dirugikan. “Agar tidak ada yang merasa dirugikan, Pemda Manokwari, DPRK Manokwari, Kepala Suku Besar Arfak/Ketua DAP Wilayah III Doberay Bersama Masyarakat Adat, mari segera lakukan musyawarah adat untuk mencapai mufakat.” tutup Damianus Walilo. [*] Kontak Media: 0821-9831-3669 (Damianus Walilo).
0 Comments
Struktur rumah di Kampung Idoor tampak berbeda dibandingkan rumah rumah yang berada di kampung pada umumnya. Tampak tiang rumah ditinggikan sekitar 30-100 cm untuk antisipasi banjir. Kampung Idoor sudah menjadi langganan Banjir setiap tahunnya. Idoor terletak di lembah yang diapit oleh dua gunung, Gunung Waibi dan Maskeri. Intensitas hujan yang tinggi menyebabkan dataran ini selalu mengalami banjir. Setiap warganya sudah beradaptasi dengan peristiwa tahunan ini namun ketakutan utama mereka adalah rusaknya hutan adat akibat eksploitasi kayu perusahaan. Ketakutan tersebut semakin menghantui sejak hadirnya PT Wijaya Sentosa/PT WS (Pemegang izin PBPH). Sejak Tahun 2024 perusahaan ini telah menebang kayu dari hutan adat marga yang telah dijaga turun temurun. Aktifitas Penebangan ini bahkan memicu konflik antar marga yang saling klaim kepemilikan sah pada wilayah Rencana Kerja tahunan (RKT) PT Wijaya Sentosa Tahun 2024-2025. Menanggapi hal tersebut, Eduard Orocomna, Anggota Pokja Adat, Majelis Rakyat Papua Barat (MPRPB) menyampaikan bahwa proses yang dilakukan oleh perusahaan PT WS telah keliru dan tindakan mereka merupakan bentuk perampasan hutan adat dari Marga Waney. Dalam berita acara tersebut, tertulis bahwa Marga Waney menyerahkan hak hutan adat mereka untuk dikelola oleh PT Wijaya Sentosa. Padahal komunitas marga Waney pun sebagian besar tidak hadir dan tidak pernah menyetujui penyerahan hak hutan adat mereka kepada PT Wijaya Sentosa. Ini salah satu bentuk perampasan hak masyarakat adat terhadap hutan mereka. Modusnya melalui satu orang yang bukan merupakan pengambil keputusan. Dengan dasar itu perusahaan mulai menebang pada RKT 2024 dan menimbulkan konflik horisontal antara Marga Waney dan Marga Samaduda hingga saat ini. Dulu keluarga di Kampung tenang, rasa kekeluargaan tetap terjaga, ada istilah yang lahir dari kampung Wansamber atau Waney Samaduda Bersaudara tapi hadirnya PT WS menyebabkan hubungan ini memudar. Sebagai Anggota MPRB saya minta kepada penerbit sertifikat FSC untuk mencabut sertifikat milik PT WS Selain itu, Eduard juga meminta kebijakan kompensasi kayu bagi masyarakat adat direvisi. Saat ini untuk kompensasi masih menggunakan Pergub Provinsi Papua Barat No. 5 tahun 2014, kebijakan ini sudah berlaku 11 tahun yang lalu dan masyarakat adat merasa dirugikan karena adanya modus perusahaan yang selalu menggunakan Pergub ini sebagai dasar bahwa harga kubikasi ini keputusan pemerintah sehingga masyarakat adat pun ikuti apa yang mereka sampaikan. Padahal dalam Pergub itu merupakan standar minimum dan masyarakat adat bisa bernegosiasi, kalau masyarakat adat meminta 500 rb atau 1 juta per kubik yah perusahaan harus ikuti tidak boleh pakai besaran minimum.
|
Archives
December 2025
|

RSS Feed