|
Siaran Pers Oleh Perkumpulan Panah Papua, Himpunan Pemuda Moskona dan Koalisi Pemuda Teluk Bintuni Gerakan Masyarakat sipil yang terdiri dari Perkumpulan Panah Papua, Himpunan Pemuda Moskona dam Koalisi Pemuda Teluk Bintuni menginisasi hal baik tentang Advokasi Pengakuan Komunitas Masyarakat Hukum Adat (MHA). Inisiasi ini telah dimulai sejak Tahun 2024 melalui program Amankan Tanah dan Hutan Papua (AMAHUTA) bersama Foker LSM Papua dan Samdhana Institute. Piter Masakoda selaku Ketua HIPMOS menyampaikan bahwa pemetaan Suku Moskona sangat penting untuk kita mengetahui luas wilayah moskona itu sendiri. Pemetaan ini akan memberikan jaminan kepada masyarakat Suku Moskona yang mencakup Sembilan distrik dan sekitar 80 kampung dengan total entitas marga yang terdaftar sementara sebanyak 47 Marga. Proses pemetaan Suku melalui beberapa tahap yang dimulai sejak pertengahan Tahun 2024 dimulai dengan Sosialisai, Lokakarya, Kunjungan Lapangan hingga saat ini kita sudah menyelesaikan proses kesepakatan batas. Tahun 2024, kami telah memfasilitasi kepakatan batas antara Suku Moskona dengan Suku Tetangga yaitu Suku Sough dan Sebyar. Sekarang (Tahun 2025) kami juga telah memfasilitasi kesepakatan batas antara Suku Moskona dengan Suku Maysomara, Ireres, Mpur dan Meyah dengan luasan total yang telah disepakati dan siap diusulkan sebesar 565.270 Hektar.
Ruben C. Frasa sebagai Ketua Koalisi Pemuda Teluk Bintuni menyampaikan bahwa dokumen usulan kami sebagai mitra kerja sama Hipmos dan Panah Papua melakukan pemetaan dari suku tetangga yang ada. Apa yang kita laksanakan sejak awal, kita tetap akan mendorong kepada Pemrintah Kabupaten Teluk Bintuni dan juga Pemerintah Provinsi Papua Barat untuk mengakomodir pengakuan hak masyaraakt adat. Harapan kami bahwa pengakuan MHA suku Moskona bisa kami dapatkan pada saat Musyawarah besar Suku Moskona yang direncanakan dihelat pada Bulan Oktober 2025. Harapannya Panitia MHA melakukan verifikasi setelah kami menyerahkan dokumen usulan kepada Pemerintah Daerah sehingga pada momen Musyawarah Besar Suku Moskona Bupati Teluk Bintuni dapat menyerahkan SK Pengakuan kepada MHA suku Moskona sebagai salah satu penghargaan kepada kami Suku Moskona yang sudah berjuang untuk membawa nama baik Kabupaten Teluk Bintuni dari tujuh suku yang ada di Kabupaten tersebut. Saya juga mengajak kepada mitra kerja yang ingin berkolaborais untuk turut mendukung terselenggaranya Mubes Suku Moskona sehingga event ini dapat menghasilkan Keputusan yang berdampak positif kepada Masyarakat adat Suku Moskona dan Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni. Kami juga membuka kerja sama dengan mitra untuk mendukung melanjuitkan pemetaan partisipatif wilayah adat yang saat ini kita jalankan. Masih banyak komunitas Marga yang belum dilakukan identifikasi sehingga pelru dukungan berbagai pihak untuk melanjutkan inisiatif baik ini. Menurut Ruben, untuk Tahun depan (2025) kami merencanakan melakukan pemetaan partisipatif di wilayah wilayah marga seperti identifikasi wilayah adat Marga Mosror, Aisnak dan Mesyem. Pengakuan negara terhadap komunitas Masyarakat adat Suku Moskona sangatlah penting. Sulfianto Alias selaku Ketua Perkumpulan Panah Papua menjelaskan bahwa mereka (MHA Suku Moskona) saat ini sedang terancam eksistensinya akibat adanya klaim negara atas tanah dan hutan secara sepihak. Klaim ini bisa dengan berbagai cara seperti klaim Kawasan hutan negara tanpa persetujuan oleh Masyarakat adat. Oleh karena itu dengan tuntasnya pemetaan partisipatif ini maka tahap selanjutnya adalah Masyarakat adat Suku Moskona menyiapkan dokumen usulan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni untuk memberikan pengakuan subyek masyarakat adatnya, harapannya wilayah adat Suku Moskona dapat terlindungi dan selanjutnya mereka akan berjuang untuk merebut Kembali hak Kelola tanah dan sumber daya alam milik mereka sehingga mereka bisa berdaulat atas tanah dan sumber daya alam yang dimiliki. Narahubung : 0821-9916-8078 (Piter Masakoda)
0 Comments
KontraS Tanah Papua Wilayah Papua Barat telah bertemu langsung dengan BENIDIKTUS ATETA (ketua marga Ateta) di Kampung Agoda di Distrik Sumuri, untuk mengecek proses awal masuknya PT.BSP di wilayah adat marga Ateta dan juga dokumen-dokumen penting terkait pelepasan tanah adat marga Ateta kepada PT.BSP.
PT. BSP telah membuat Perjanjian Kerjasama Penggunaan dan Pemamfaatan Tanah/Lahan Untuk Pembangunan Kebun Kelapa sawit di Lahan Marga Ateta. Perjanjian Penggunaan dan Pemamfaatan lahan tersebut, diduga dibuat sepihak karena tidak melibatkan ketua marga besar Ateta yakni BENIDIKTUS ATETA. BENIDIKTUS ATETA yang ditemui di Kampung Agoda Distrik Sumuri, mengatakan “sebagai Kepala marga besar Ateta, pihak perusahaan PT.BSP tidak pernah bertemu dengannya untuk membicarakan terkait Perjanjian Kerjasama Penggunaan dan Pemamfaatan Tanah/Lahan Untuk Pembangunan Kebun Kelapa sawit di Lahan Marga Ateta. BENIDIKTUS ATETA juga mengatakan jangangkan berbicara tentang Perjanjian Kerjasama Penggunaan dan Pemamfaatan Tanah, untuk masuknya (PT.BSP) melakukan aktifitas perkebunan kelapa sawit di wilayah adat kami marga Ateta pun kami TOLAK, kami tidak mengizinkan perusahaan kelapa sawit masuk di Wilayah adat kami”. KontraS Tanah Papua Wilayah Papua Barat menilai Perjanjian Kerjasama Penggunaan dan Pemamfaatan Tanah/Lahan Untuk Pembangunan Kebun Kelapa sawit di Lahan Marga Ateta, dibuat secara sepihak oleh PT. BSP karena tidak melibatkan marga besar Ateta yang dalam hal ini diketuai oleh BENIDIKTUS ATEA, oleh sebab itu Perjanjian Kerjasama Penggunaan dan Pemamfaatan Tanah/Lahan milik marga Ateta tidak sah dan cacat hukum. Sebuah perjanjian, termasuk perjanjian penggunaan lahan, harus memenuhi syarat sah perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata yang diantaranya; (1). Kesepakatan: Kedua belah pihak (perusahaan dan pihak yang berhak atas tanah) harus sepakat atas isi perjanjian, (2). Kecakapan: Para pihak harus cakap hukum, dalam hal ini, mampu membuat perjanjian, (3). Objek: Perjanjian harus jelas mengenai objek yang diperjanjikan, dalam hal ini, tanah dan (4). Sebab yang Halal: Perjanjian tidak boleh bertentangan dengan hukum atau norma kesusilaan. KontraS Tanah Papua Wilayah Papua Barat menilai syarat-syarat Perjanjian Kerjasama Penggunaan dan Pemamfaatan Tanah/Lahan Untuk Pembangunan Kebun Kelapa sawit di Lahan Marga Ateta tidak terpenuhi sebagai syarat-sayarat sahnya suatu perjanjian karena pembuatan perjanjian tersebut tidak melibatkan pihak yang berwewenang. Perjanjian yang melibatkan tanah marga Ateta, pihak PT. BSP harus melibatkan pihak yang berhak dan berwenang atas tanah tersebut. Jika seseorang yang tidak memiliki wewenang mewakili masyarakat, perjanjian tersebut bisa dianggap cacat hukum dan Perjanjian tersebut dianggap, perjanjian yang illegal (illegal agreement). Dalam kasus ini, perjanjian dengan pihak yang tidak berhak bisa dibatalkan karena tidak memenuhi syarat kesepakatan dan sebab yang halal. Perjanjian penggunaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit yang dibuat dengan seseorang yang tidak mewakili komunitas masyarakat setempat, kemungkinan besar tidak sah. Hal ini karena perjanjian tersebut berpotensi melanggar hak-hak masyarakat adat atau komunal atas tanah yang mereka kuasai secara turun temurun. KontaS Tanah Papua Wilayah Papua Barat menduga PT.BSP telah memfaatkan dua (2) orang dari anggota keluarga marga Ateta untuk meloloskan kepentingan aktifitas perkebunan kelapa sawit di atas wilayah adat marga Ateta. Informasi mengenai kedua orang dari anggota keluarga marga Ateta tersebut di Peroleh dari komunitas masyarakat marga Ateta di Kampung Agoda, Distrik Sumuri, tempat dimana PT.BSP akan melaksanakan aktifitas Perkebunan Kelapa Sawit. Informasi tersebut didukung dengan beberapa bukti yang kuat (bukti yang didapat di lapangan), dimana terdapat foto penyerahan uang konpensasi pembayaran lahan, Perjanjian Kerjasama Penggunaan dan Pemamfaatan Tanah/Lahan Untuk Pembangunan Kebun Kelapa sawit di Lahan Marga Ateta di Distrik Sumuri. KontraS Tanah Papua Wilayah Papua Barat Kontak Person : Mambrasar Musa (Koordinator KontraS Papua Barat) HP: +62 821 9899 5587 Benediktus Ateta selaku orang tua adat (Kepala Marga Ateta) melaporkan dugaan pelanggaran hukum terhadap PT Borneo Subur Prima (PT BSP) yang telah berkegiatan di Distrik Sumuri dan Distrik Aroba tanpa Izin/Rekomendasi Lingkungan. Berdasarkan pemantauan masyarakat bahwa PT BSP telah melaksanakan beberapa aktifitas seperti melakukan pengukuran tanah dan memfasilitasi perolehan tanah dengan bersepakat dengan oknum tertentu masyarakat adat dari Marga Ateta yang terjadi pada Tanggal 08 Mei 2025. Selain itu kami juga melaporkan kegiatan pembentukan Koperasi Plasma oleh PT BSP di Distrik Aroba yang dilakukan perusahaan pada Tanggal 6 Mei 2025. Kedua kegiatan ini seharusnya tidak dapat dilakukan karena Dokumen AMDAL yang menjadi pedoman berkegiatan belum ada. Selain itu Rekomendasi Lingkungan belum diterbitkan oleh Bupati sebagai legalitas untuk melaksanakan kegiatan. Akibat tindakan perusahaan, maka kami Komunita Marga Ateta sangat dirugikan karena proses perolehan tanah ini sama sekali tidak melibatkan kami selaku orang tua adat. Kami punya hutan adat tersisa yang ada ini terancam hilang akibat adanya rencana perekebunan kelapa sawit PT BSP. Di dalam hutan adat yang kami kelola ada sumber kehidupan. Disitu kami makan dan hidup secara turun temurun. Ada tempat penting dan lumbung pangan kami di sana. Jika hutan adat terakhir itu hilang maka kami mau hidup di mana? tutur Benediktus Ateta selaku Ketua Marga Ateta Musa Mambrasar sebagai kuasa Hukum dari Perwakilan Marga Ateta menyatakan bahwa Pasal 109 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa izin lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). AMDAL harus diajukan sebelum kegiatan usaha atau kegiatan dilakukan. Jika AMDAL belum selesai dibahas dan/atau mendapat persetujuan, maka kegiatan tidak boleh dilakukan. "Dari Tapak Mengawal Rencana Revisi UU Kehutanan: Akhiri Pola Pikir Tak Adil Ala Kolonial”11/6/2025 Jakarta, 9 Juni 2025: Rencana revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (RUUK) harus menjadi momentum perubahan paradigma dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Indonesia tidak boleh lagi menggunakan paradigma kolonial yang menganggap hutan sebagai komoditas milik negara semata. Seharusnya, Indonesia bisa menata kelola hutan dengan memberi pengakuan penuh atas hak-hak masyarakat adat dan penduduk lokal sebagai penjaga hutan yang sah.
“UU Kehutanan harus berubah secara total karena sudah tidak relevan dengan tantangan kerusakan hutan yang mencapai rata-rata 689 ribu hektare per tahun, serta terhadap perlindungan dan pengakuan atas hak-hak masyarakat adat dan lokal. Jika tidak, Indonesia terancam gagal mencapai target pengurangan emisi di sektor FoLU,” kata Anggi Putra Prayoga, juru kampanye Forest Watch Indonesia dalam diskusi terbatas Forest Watch secara daring. Diskusi membahas rencana revisi UU Kehutanan yang telah masuk Prolegnas 2025. Anggi menekankan bahwa terdapat tiga pijakan utama dalam momentum RUUK yang harus berubah. Pertama, pentingnya mengubah paradigma kolonial yang tidak adil dalam memaknai hak menguasai negara. Klaim Kementerian Kehutanan atas 106 juta hektare wilayah daratan dan perairan ke dalam bentuk kawasan hutan milik negara adalah penetapan sepihak, yang semata-mata hanya aspek legalitas saja. Padahal dalam anotasi Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 45 tahun 2011, terdapat empat proses pengukuhan kawasan hutan, yakni penunjukan, penata batasan, pemetaan, dan penetapan. “Pengukuhan kawasan hutan yang dilakukan Kementerian Kehutanan cacat dalam proses penata batasan kawasan. Kawasan hutannya legal tetapi tidak mendapatkan legitimasi dari masyarakat adat dan lokal di tapak. Bahkan anomali penetapan kawasan hutan melonjak 20 kali lipat dalam setahun terakhir, yang biasa rata-rata per tahunnya hanya 500 ribu hektare,” tegas Anggi. Kedua, momen RUUK ini harus mampu menolak berbagai bentuk kamuflase pembangunan berkelanjutan, seperti program swasembada pangan dan energi, yang justru menjadi alat legitimasi pengrusakan hutan secara terencana dan pengingkaran terhadap hak-hak masyarakat adat dan lokal. Ketiga, RUUK harus secara tegas mengakomodasi dan mengimplementasikan putusan MK, khususnya Putusan MK Nomor 34, 35, 45, dan 95, yang menjunjung tinggi hak-hak masyarakat adat dari proses pengukuhan kawasan hutan yang semena-mena serta dari praktik perizinan ekstraktif yang merusak. Menurut Riyono, anggota DPR RI dari Fraksi PKS, UU Kehutanan perlu direvisi dengan serius, dengan mengutamakan keadilan bagi masyarakat adat, penegakan putusan MK, serta mengintegrasikan pengelolaan hutan dan pangan. Dalam diskusi, Raden dari Walhi Kalsel menekankan selama paradigma kolonial bahwa hutan adalah milik negara masih dipertahankan, Masyarakat Adat Meratus akan terus dikorbankan demi izin ekstraktif. “RUUK harus berpihak pada keadilan ekologis dan pengakuan utuh atas hak-hak Masyarakat Adat Meratus, yang tersingkir karena wilayah adat mereka dijadikan kawasan hutan,” tambah Raden. Di Kalimantan Barat, hutan yang luas tak menjamin kesejahteraan karena tata kelolanya masih dikuasai logika kolonial dan kepentingan kapital. “Hutan Tanaman Industri di dalam konsesi kehutanan adalah kebun monokultur yang bukan hutan. RUU Kehutanan bukan hanya soal regulasi, tapi soal keadilan dan masa depan,” tegas A Syukri dari Link-Ar Borneo. RUUK harus menjadi benteng terhadap ekspansi korporasi, bukan jalan tol bagi proyek pangan dan energi yang mengorbankan hutan dan masyarakat adat. Darwis dari Green of Borneo Kaltara menegaskan tanpa perlindungan sosial, penerapan prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA), dan pelaksanaan Putusan MK 35 di tingkat tapak, revisi ini hanya akan memperluas konflik, kriminalisasi, dan kerusakan ekologis di Kaltara atas nama pembangunan. Afifuddin dari WALHI Aceh menambahkan jika RUUK tak berpihak pada rakyat dan ekosistem, maka yang lahir bukan solusi, tapi legalisasi krisis di Aceh. Sulfianto dari Panah Papua menegaskan bahwa pendekatan eksploitatif dalam RUUK harus dihentikan, apalagi jika tanpa transparansi dan persetujuan masyarakat adat, maka yang terjadi bukan pembangunan, tapi penjajahan dalam bentuk food estate. Di Jambi, transisi energi yang dijalankan konsesi kehutanan justru jadi kedok baru perampasan hutan, menggusur kebun rakyat, hingga konsesi yang berubah jadi tambang ilegal. “RUUK harus dikawal ketat agar narasi hijau tidak terus dipakai untuk mengabaikan hak ulayat dan merampas ruang hidup masyarakat,” tegas Oscar Anugrah dari WALHI Jambi. Penguasaan sepihak atas hutan di Gorontalo sejak kolonial hingga hari ini juga terus berlangsung dalam rupa baru, yakni investasi, proyek monokultur, dan proyek bioenergi di Kabupaten Pohuwato yang meminggirkan masyarakat lokal. “RUUK harus menjadi alat koreksi terhadap warisan ketimpangan ini, bukan justru melanggengkannya demi kepentingan korporasi dan kepentingan transisi energi negara importir atas sumber daya hutan di Gorontalo," tambah Defri Setiawan dari Walhi Gorontalo. Di tengah keterbatasan ekologis pulau-pulau kecil Maluku, kebijakan kehutanan tak bisa terus mengulang sejarah pengabaian dengan menunjuk wilayah adat menjadi kawasan hutan negara, bias pulau besar, hingga lahirnya proyek biomassa di Pulau Buru yang menggusur ruang hidup. “Sudah saatnya masyarakat adat tidak sekadar diajak berpartisipasi, tapi diakui haknya sebagai pemilik sah hutan yang mereka rawat turun-temurun,” tegas Zul dari KORA Maluku. Faizal Ratuela dari WALHI Malut turut menambahkan ketika negara menjadikan pulau-pulau tak berpenghuni sebagai celah ekspansi proyek strategis nasional, tanpa melihat relasi komunal masyarakat dan daya dukung ekologi, maka yang dikorbankan bukan hanya hutan, tapi juga identitas, kesehatan, dan masa depan pulau-pulau yang rentan di garis gempa dan krisis iklim. Dr. Andi Chairil Ichsan Kepala LPPM Universitas Mataram turut menambahkan bahwa RUUK bukan sekadar dokumen hukum, tapi cerminan memahami ulang makna hutan, memperbaiki struktur tata kelola, dan memastikan bahwa kekuasaan atas hutan tidak lagi dimonopoli, melainkan dibagi secara adil dan transparan demi masa depan sosial-ekologis yang berkeadilan. Selain itu, Dessy Eko Prayitno, S.H., M.H. dari Universitas Indonesia menambahkan bahwa pengakuan hak masyarakat dan tata kelola hutan yang transparan, partisipatif, dan akuntabel harus menjadi roh dari UUK yang baru, baik pada tahap pengukuhan, perizinan, pengawasan, dan penegakan hukumnya. Narahubung : Alvin Media Forest Watch Indonesia - +62 857-2034-6154 Dokumentasi : https://s.id/MateriSuaraTapakRevisiUUK Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit PT Borneo Subur Prima (PT BSP) yang membuka kantor mereka di Kabupaten Fakfak diduga menjadi pemicu konflik horizontal komunitas masyarakat adat marga baik di Suku Sumuri maupun Suku Irarutu. Kedua suku tersebut adalah bagian dari Masyarakat Adat Asli Tujuh Suku di Kabupaten Teluk Bintuni yang telah diakui dan dilindungi Oleh Negara melalui Perda No.1 Tahun 2019 tentang Pengakuan dan Perlindungan MHA di Kabupaten Teluk Bintuni.
Konflik berawal adanya surat perusahaan PT BSP tertanggal 14 Mei 2025 yang ditujukan kepada Ketua Komisi Penilai AMDAL Daerah Provinsi Papua Barat. Dalam surat tersebut ditemukan penjelasan bahwa dari Marga Ateta yang diwakili oleh Bapak Yacob Ateta telah ada surat pelepasan Tanah adat Marga Ateta seluas 858,28 hektar dan akan menyusul pelepasan seluas 2.037 hektar. Mendapat informasi tersebut, Theresia Ateta selaku Perempuan Adat dari Marga Ateta yang juga sebagai Anggota Pokja Perempuan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) membantah bahwa salah satu tetua marganya telah menandatangani surat pelepasan tanah adat. Itu tidak benar, tete dia tidak pernah tanda tangan surat pelepasan. Tindakan yang dilakukan PT BSP menipu masyarakat, tidak ada proses musyawarah yang dijalankan. Kami internal marga Ateta ini malah muncul konflik dari kita sendiri karena ulah PT BSP. Untuk uang yang diterima, tete Yacob Ateta telah memberikan klarifikasi, dalam klarifikasi itu salah satunya teta akan mengembalikan uang yang sebelulmnya ia terima dari PT BSP. Sebelumnya, pada Tanggal 17 Mei 2025 di Kampung Aroba dilakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara masyarakat Distrik Aroba dengan MRPB Provinsi Papua Barat dan DPRK Teluk Bintuni. Pada acara rapat dengar pendapat tersebut ditemukan situasi adanya perbedaan pendapat pada anggota Marga. Philipus Susure selaku menyampaikan saya lebih lindungi saya punya tanah adat, saya tidak mau perusahaan. “Kita bikin kebun kan pindah pindah, kita cari bintang cari jauh jauh, kalau pribadi saya tidak mau dan tidak setuju sawit (perusahaan) ini masuk. Sedangkan Musa Susure yang diwawancarai menyampaikan bahwa apa yang diusulkan setiap marga itu berbeda beda namun surat kesepakatan dan berita acara yang dibuat ada kemiripan semua padahal masing masing marga punya permintaan berbeda. Berarti ini satu ketidakbagusan ada di pihak perusahaan karena tidak mungkin Marga Kasina akan sama penyampaiannya dengan marga Motombrie atau dengan Marga Susure. Sulfianto Alias, Ketua Perkumpulan Panah Papua menyampaikan bahwa sedang terjadi land grabbing (perampasan lahan) milik masyarakat adat Suku Sumuri dan Aroba oleh PT BSP. Adapun cara merampas lahan oleh perusahaan yaitu dengan merebut tanah dan sumber daya alam didalamnya tanpa menerapkan PADIATAPA secara baik dan benar. “Sesungguhnya yang terjadi di Aroba dan Sumuri, masyarakat itu pengetahuan terhadap investasi sawit masih minim. Perusahaan yang punya uang tentu akan menang karena mereka bergerak dengan modal kuat. Ketika bertemu dengan aktor dari perwakilan Marga, sudah tentu negosiasi dimenangkan perusahaan. Namun fakta penting yang perlu saya sampaikan bahwa lokasi yang diusulkan oleh PT BSP ini sebagian besar sudah dibebani izin perusahaan sebelumnya yaitu PT Varita Majutama. Bupati Teluk Bintuni harus mempertimbangkan hal ini karena bisa ada pemberian izin di atas izin dan tentu tindakan ini melanggar Undang Undang. Kami selalu aktif berkoordinasi dengan Koordinator Pencegahan Korupsi Perizinan, KPK dan rencana akan membicarakan kasus PT BSP. Saya selaku aktivis lingkungan meminta kepada Bupati Teluk Bintuni untuk tidak memberikan rekomendasi lingkungan kepada PT BSP dan saya yakin pak Bupati punya komitmen kuat mendukung masyarakat adat dan kelestarian hutan Papua. Situasi tampak tidak seperti biasanya, Willem Ateta bersama sekelompok masyarakat adat dari kampung Padang Agoda, Distrik Sumuri merubuhkan kayu buah yang tumbuh di sempadan jalan. Kayu tersebut kemudian ditarik hingga membentang menutupi jalan dan memaksa moda transportasi berhenti sehingga tidak bisa melewati jalan tersebut. Aksi yang dikenal sebagai aksi pemalangan ini adalah salah satu upaya komunitas marganya menghadapi ketidakadilan yang dilakukan oleh perusahaan pengembangan proyek PSN PT Genting Oil Kasuri Pte.Ltd.(GOKPL). GOKPL adalah perusahaan multinasional, anak grup dari perusahaan holding Genting Energy dan semuanya bernaung dibawah Genting Group milik taipan asal Malaysia Lim Kok Thay. Pada Tahun 2023 GOKPL ditetapkan untuk mengerjakan PSN untuk pengembangan lapangan gas Asap, Kido dan Merah di Kabupaten Teluk Bintuni. GOKPL akan beroperasi lewat fasilitas gas alam cair apung atau Floating Liquefied Natural Gas (FLNG). Salah satu pemenang tender pembangunan fasilitas FLNG ini adalah PT layar Nusantara Gas (PT LNG). Pada tanggal 8 September 2023, PT LNG menandatangani kesepahaman bekerja sama dengan Wison (Nantong) Heavy Industry Co., Ltd. Kontrak mereka khusus mengerjakan bidang teknik, pengadaan, konstruksi, kontrak instalasi dan komisioning. PT LNG memperoleh izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) pada Tahun 2024 sedangkan PT GOKPL memperoleh izin tersebut satu tahun sebelumnya. Satu bulan terakhir tercatat telah terjadi kehilangan tutupan hutan seluas 4,2 hektar di kampung Sido Makmur, Distrik Aroba akibat aktivitas PSN tersebut. Berdasarkan hasil telaah Perkumpulan Panah Papua, terdapat peredaran kayu ilegal yang diduga berasal dari hutan alam untuk pengembangan proyek tersebut. Kemungkinan telah terjadi penimbunan kayu olahan jenis merbau berukuran 5x 10 cm dengan jumlah sekitar 3 meter kubik di lokasi PT GOKPL, lokasinya berada di Kampung Sido Makmur, Distrik Aroba, Kabupaten Teluk Bintuni, ujar Sulfianto Alias selaku anggota Jaringan Pemantau Independen kehutanan (JPIK) Papua Barat. Pemegang IPPKH tidak dibenarkan mengolah kayu bulat di dalam kawasan hutan. Hal ini bertentang dengan Undang Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang Undang 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Selain itu, PSN GOKPL telah menggusur hutan alam di wilayah moratorium hutan. Terdapat sekitar 1 hektar hutan alam bergambut yang telah dibuka untuk pengembangan PSN. Proyek ini menerabas aturan moratorium hutan yang juga dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia sendiri (tumpang tindih aturan). Biasanya pelaku usaha dalam mengembangkan usahanya akan membuat kanal untuk mengeringkan lahan gambut. Pada musim kemarau, ekosistem ini rentan terbakar dan beresiko berdampak terhadap masyarakat. Proyek tersebut adalah proyek pengembangan minyak dan gas dan sensitif terhadap kebakaran hutan dan lahan Perkumpulan Panah Papua meminta Penegak Hukum untuk memeriksa perusahaan GOKPL dan PT LNG dalam dugaan pengolahan kayu merbau ilegal ini. Proses penegakan hukum harus dilakukan secara terbuka, tuntas dan tidak pandang bulu, karena ini melibatkan perusahaan besar multinasional tutup Sulfianto.
Organisasi Masyarakat Sipil dan tokoh pemuda di Bintuni akan mendorongi terbentuknya cetak biru (blue print) pengembangan mata pencaharian masyarakat adat berbasis pangan lokal di Kabupaten Teluk Bintuni. inisiatif ini diharapkan dapat diadopsi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni sehingga dapat berdampak positif terhadap ekonomi masyarakat seperti petani, pelaku usaha (UMKM, Koperasi dan Bumdes) dan dapat berkontribusi terhadap program 100 hari kerja Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Teluk Bintuni, Yohanis Manibuy S.E., M.H dan Joko Lingara.
Sebagai gambaran singkat blue print ini adalah sebuah kerangka besar rancangan pemerintah daerah untuk mengembangkan pangan lokal di kabupaten tersebut. Teluk Bintuni memiliki banyak potensi sumber daya alam terutama pangan lokal utama seperti Sagu, Umbi-umbian dan makanan laut. Selain itu juga terdapat pangan lokal lainnya seperti buah merah, nenas dan jenis jenis bakau. Potensi ini belum dikembangkan lebih jauh dan diperlukan dukungan pemerintah untuk pengembanganya sehingga bisa memberikan aspek manfaat bagi petani, pemuda dan perempuan pelaku usaha kecil di bintuni ujar Sulfiant Alias selaku Ketua Perkumpulan Panah Papua Tambahnya bahwa target dari blue print ini yaitu menyasar adanya kebijakan perlindungan pangan lokal pada level kabupaten, peningkatan kapasitas petani di kampung, pembentukan kelembagaan (unit usaha) di tingkat tapak, pembangunan Hub pangan lokal pada sentral pangan lokal baik di kampung maupun di ibu kota kabupaten yang saling terkoneksi dan mendorong akses kelola masyarakat adat terhadap pangan lokal seperti akses kelola terhadap hutan adat. Harapnnya setelah blue print ini jadi, pemerintah daerah dapat mengimplementasikan dokumen tersebut dengan terlebih dahulu membentuk tim kerja untuk mencapai target yang berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat kampung. Berdasarkan data SAIK+ (2025) Perkiraan jumlah kepala keluarga orang asli Papua di Kabupaten Teluk Bintuni sebanyak 10.672 kk. Sekitar 90 persen kepala keluarga ini adalah petani. Jika berhasil dilakukan intervensi maka bisa berpotensi adanya peningkatan pendapatan bagi setiap kepala keluarga sekitar 40 persen dari pendapatan rata rata setiap bulan dari pengelolaa pangan lokal. Anggota DPRK Teluk Bintuni Roy Masyewi yang juga merupakan salah satu pemerhati pangan lokal menyampaikan bahwa Bupati dan Wakil Bupati sangat mendukung kegiatan ini untuk bisa berjalan sehingga dapat menyukseskan jalannya 100 hari kerja Bupati. Pangan lokal ini sangat penting untuk didorong, karena merupakan pendapatan asli masyarakat lokal yang ada di Teluk Bintuni. Teluk Bintuni tidak hanya memiliki sumber daya gas, pangan lokal juga merupakan salah satu hasil kekayaan yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah, contohnya seperti umbi-umbian, sagu dan lain sebagainya, karena itu merupakan pekerjaan yang sering dilakukan oleh masyarakat adat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain pangan lokal juga terkait hutan-hutan adat yang perlu mendapat perlindungan dari pemerintah sehingga menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat. Harapan saya pemerintah daerah, DPR dan juga pemerhati masyarakat adat di negeri ini dapat mendukung kegiatan pengembangan pangan lokal di tanggal 22 April 2025. Narahubung : Sulfianto Alias (HP 08115309289), Roy Masyewi (Hp 082198596987) Penyidikan kasus kekerasan terhadap aktivis berlanjut. Pada 6 Februari 2025, telah dilaksanakan rekonstruksi atau reka ulang kejadian yang melibatkan korban dan pelaku penganiayaan. Pada rekonstruksi tersebut ditemukan fakta baru yaitu terdapat keterlibatan oknum polisi berinisial I dalam peristiwa penganiayaan.
Berdasarkan kesaksian korban, oknum Polisi Inisial I terlibat pemukulan pada saat korban Sulfianto Alias diculik dari café cendrawasih dan dibawah ke lokasi hutan yang sunyi di Tanah Merah. “Saya Damianus Walilo, sebagai Ketua jejaring/Koalisi Perlindungan terhadap Aktivis Sedunia mendesak kepada Kapolres Teluk Bintuni untuk segera menangkap Polisi Berinisial I. Saya juga akan mendesak Kapolri, Komisi III DPR RI dan Kapolda Papua Barat untuk bisa melakukan penegakan hukum yang tidak memilha milah. Jangan karena mereka yang terlibat itu anggota kepolisian, maka ada upaya untuk menyelamatkan oknum atau memperingan hukuman oknum polisi tersebut. Saya juga meminta untuk Kapolda ikut mengawasi kasus ini sehingga tidak ada penegak hukum yang ikut bermain. Kasus ini sudah menjadi isu Dunia, dan sudah tersebar sampai ke jejaring Persekutuan Bangsa Bangsa (PBB) di mana semua organisasi masyarakat sipil baik nasional maupun internasional mengecam tindakan biadab para pelaku” ujar Damianus. “Selain itu, peran tersangka DS (oknum Polisi lainnya) sangat dominan ketika terjadi penganiayaan di Tanah Merah. Ia bahkan mengeluarkan pistol dan mengancam Sulfianto. Dalam rekonstruksi adegan ini tidak muncul. Oleh karena itu, Saya meminta kepada Kapolda Papua Barat untuk ikut mengawasi proses penyidikan yang dilakukan oleh Polres Teluk Bintuni terutama peran oknum polisi yang melakukan pengeroyokan terhadap Sulfianto” Sulfianto Alias selaku aktivis lingkungan sekaligus korban mengapresiasi Penyisik Polres Teluk Bintuni yang sudah sejauh ini menangani kasus. “Namun perlu saya beri catatan meminta penegak hukum bersikap independen, tidak pandang bulu dalam menangani kasus ini. Saya meminta kepada Penyidik Polres Teluk Bintuni bekerja profesional untuk mengungkap pelaku lain dalam kasus penganiayaan terhadap saya”. Imbuhnya “Saya meyakini masih ada satu orang pelaku oknum Polisi yang terlibat penganiayaan, Oknum polisi ini belum ditahan. Dia juga tampak dalam proses rekonstruksi yang telah dilakukan. Pada saat itu perannya sebagai saksi. Oknum Polisi tersebut pertama kali menginterogasi saya ketika dalam perjalanan ke tanah merah. Dia yang mengatakan kita akan ke Polres (padahal mereka membawa saya ke lokasi hutan di tanah merah) dan dia yang pertama kali menuduh saya terlibat dengan Ibu Distrik Merdey terlibat politik praktis. Saya berharap Oknum Polisi tersebut ditahan” tambah Sulfianto. Aktivitas Musyawarah Kesepakatan Batas Wilayah Adat Suku Moskona dengan Suku Lainnya Masyarakat Adat Suku Moskona di Kabupaten Teluk Bintuni telah menyelesaikan proses pemetaan wilayah adat Suku Moskona. Pemetaan tersebut telah mengidentifikasi seluas setengah juta hektar wilayah adat Suku. Berdasarkan hasil pemetaan wilayah Suku Moskona telah diperoleh data seluas 572.341 Hektar wilayah adat suku yang telah disepakati batas wilayahnya oleh suku yang bersebalahan, Ujar Piter Masakoda selaku koordinator advokasi pemetaan wilayah adat Suku Moskona.
Melalui kegiatan lokakarya dan kunjungan lapangan, orang tua dan pemuda baik dari Suku Moskona dan Suku lainnya sudah sepakat mengusulkan komunitas MHA Suku Moskona untuk didorong kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni guna memperoleh Pengakuan. Kami sangat salut dan berikan apresiasi kepada orang tua dan pemuda kita, dengan keputusan bulat mendukung proses identifikasi ini tambah Piter Ketua LMA Suku Moskona, Bernadus Asmorom menyampaikan bahwa sangat antusias terhadap proses pemetaan ini. Kita semua harus mendukung inisiatif baik ini untuk melindungi kita punya tanah dan hutan adat dan mendapatkan pengakuan dari negara, tuturnya. Achi Kosepa yang juga sebagai Wakil Ketua LMA 7 Suku sekaligus Tokoh masyarakat di Suku Sebyar meminta untuk wilayah suku suku lain juga bisa segera dipetakan karena masyarakat sangat membutuhkan pengakuan komunitas dan wilayah adatnya oleh negara. Muka Marthen Wersin mulai memerah setelah mendengar terdapat rencana izin baru masuknya kelapa sawit di wilayah adatnya, wilayah adat Suku Irarutu. Marthen yang juga menjabat sebagai Ketua LMA Tujuh Suku Kabupaten Teluk Bintuni merasa tidak pernah dilibatkan dalam konsultasi publik AMDAL yang telah dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Borneo Subur Prima (PT BSP). Marthen menilai bahwa proses AMDAL itu tidak perlu terburu buru dan harus dilakukan kajian yang matang. "Dokumen AMDAL itu harus dibuat secara benar. jangan hanya menentukan dokumen AMDAL sepihak dan AMDAL itu harus kita kaji lama bukan 1-2 hari saja".
Menyikapi telah dilakukannya konsultasi publik, maka Marthen Wersin menyatakan bahwa LMA Tujuh Suku Kabupaten Teluk Bintuni bersikap menolak dengan tegas masuknya investasi PT BSP di wilayah adat Irarutu dan Sumuri. "Perkebunan sawit itu bukan membahagiakan masyarakat tapi mereka juga susah. Kami LMA 7 Suku punya sikap tegas. LMA dulu beda dengan sekarang, LMA sekarang terstruktur, anggaran ke masing masing LMA suku juga sudah ada, saya akan meminta kepala Suku untuk kumpul untuk membahas khusus terkait hal ini. Sebelum itu terjadi kita tidak boleh izinkan (kelapa sawit). Kita masyarakat duduk musyawarah. Sikap LMA menolak perkebunan kelapa sawit". Sebagai alternatif, Marthen menawarkan untuk masyarakat adat tujuh suku untuk fokus mengembangkan potensi lokal mereka seperti pala, sagu, kasbi dan lainnya. "Masih banyak cara untuk membangun ekonomi masyarakat adat di kampung, misalnya dengan mengembangkan potensi lokal yang ada. Kita masyarakat tujuh suku ini punya pala dan sagu. Ketika orang Papua punya pala atau sagu, kita bisa jual hasil hutan itu dan bisa mendapatkan uang, kita orang Papua tidak punya sejarah untuk kembangkan perkebunan sawit" Marthen pun menyampaikan harapan kepada pemerintah daerah untuk mengedepankan aspek musyawarah, melibatkan seluruh elemen masyarakat untuk terlibat dalam proses yang dijalankan. "untuk harapan saya ke pemerintah daerah sebagai representasi pusat, jangan melupakan tanah adat. Apapun mau dilakukan pemerintah kita musyawarah. Saya sudah lihat di Manowkari, Sorong tidak ada perkembangan orang asli papua untuk olah kelapa sawit ini"tutup Wersin |
Archives
June 2025
|
RSS Feed